BAGI seorang muslim, Ramadan adalah bulan yang sangat diagungkan dan dirindukan. Memasuki bulan Rajab, dua bulan menjelang Ramadan, kerinduan kepadanya begitu mengharu-biru. Hal ini biasanya diekspresikan dalam lantunan doa di masjid dan musala yang artinya, ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Syakban, sampaikan usia kami pada Ramadan (barik lana fii rajaba wa syakban, wa ballighna Ramadhan). Doa ini menegaskan bahwa kerinduan kepada Ramadan telah menjadi candu, dan penawarnya adalah bertemu.
Ketika Ramadan datang, laiknya tamu yang dirindukan, kehadirannya disambut dengan meriah oleh seluruh muslim dengan berbagai acara. Sebut saja pawai tang-bintangan dan pawai obur di Sumenep, munggahan di Sunda dan padusan di Boyolali atau Fanoos Ramadan di Mesir dan Roadha Mas di Maladewa. Semua bergembira menyambut kehadiran bulan yang di dalamnya ada malam lebih baik dari seribu bulan ini.
Dalam bulan suci nan agung ini, ada dua ibadah yang perlu digarisbawahi. Pertama, ibadah individual dan tak secara langsung berimplikasi sosial. Ibadah ini berupa fardu ataupun sunah. Yang fardu adalah ibadah puasa. Ibadah yang diwajibkan tanggal 10 Syakban tahun kedua hijriah ini ibadah yang sangat privat antara seorang hamba dengan Tuhan-nya. Sampai-sampai Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, ”puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Ibadah di bulan suci ini dilengkapi dengan ibadah sunah, semisal salat Tarawih, qiyamul lail, iktikaf, baca Alquran, umrah, dan lain sebagainya.
Kedua, ibadah yang berimplikasi sosial secara langsung. Mulai yang fardu, seperti zakat fitrah, sampai yang sunah, seperti bersedekah dan memberi buka puasa. Dari kedua ibadah ini adalah kesempurnaan Ramadan yang hanya bisa diraih dengan menyempurnakan dua hal: pengagungan terhadap Allah (ta’dzim lillah) dan berbagi kasih sayang dengan makhluk-Nya (syafaqah li khalqih). Dua hal ini tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Menurut Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, seluruh perintah Allah merujuk pada dua hal tersebut. Itulah kenapa salat diawali takbir dan diakhiri salam. Kata iman dalam Alquran diikuti dengan amal saleh, dan perintah salat diikuti dengan perintah zakat. Nabi SAW mengaitkan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir dengan penghormatan kepada tetangga dan tamu. Keduanya semacam dua sisi keping mata uang.
Ramadan di Tahun Politik
Ramadan tahun ini berada di puncak mendidihnya suhu politik nasional. Pemilu serentak 17 April tidak hanya membuat kehidupan berbangsa ini retak, tapi terpecah belah. Kebenaran dikooptasi sedemikian rupa dan direduksi hanya pada satu angka pilihan. Sementara di seberang sana pilihan dengan angka berbeda adalah salah. Dua kubu seakan-akan berhadapan secara diametral. Perpecahan yang diawali dari stasiun TV Jakarta menjalar ke daerah, bahkan sampai ke warung kopi di pojokan kampung. Di sinilah Ramadan menuntut pembuktian maknanya pada diri muslim yang menjadi penduduk mayoritas di Nusantara ini.
Seorang muslim harus menyadari penuh bahwa Ramadan ini mengajarkan penghambaan dan kasih sayang sekaligus. Dia harus menghidupkan waktu Ramadan dengan shiyam, qiyam, sujud, dan tilawah, sekaligus terus berusaha menjadi pribadi yang bermanfaat kepada sesamanya, membahagiakan hati, membebaskan dari kesulitan kelaparan, dan selalu mempererat jalinan ukhuwah islamiah dan ukhuwah sya’biyah (persaudaraan sesama bangsa). Jangan karena perbedaan pilihan lalu menjadi agresif dan menyalakan api permusuhan. Gus Dur (2006) dalam hal ini mengutip firman Allah dalam QS. Ali Imran: 103 dan menegaskan bahwa perbedaan diakui, namun perpecahan dilarang dalam agama.
Di bulan Ramadan ini, seorang Muslim dilatih untuk meniru sifat-sifat ilahiah. Bukan hanya tidak makan dan minum. Kalau hanya menahan makan dan minum, banyak hewan yang lebih kuat tidak makan dan minum melebihi manusia. Beruang bisa bertahan hidup 100 hari, unta bisa bertahan 40 hari, dan buaya bisa bertahan beberapa bulan sampai 3 tahun dan sebagainya. Jadi, kalau puasa hanya menahan lapar dan dahaga, puasa tidak akan menjadi pembeda—kalau tidak dikatakan kalah—manusia dengan hewan.
Di antara sifat ilahiah yang diajarkan untuk dibaca di bulan Ramadan adalah Dia Pemaaf (’afuwwun), Pemurah (kariimun), Senang Memberi Maaf (tuhibbul ’afwa). Doa ini tidak hanya untuk dibaca berulang-ulang di bulan yang mulia ini. Tetapi, muslim harus menjadi dan berusaha menjadi pribadi yang menduplikasi sifat tersebut. Ia harus berusaha menjadi pemaaf dan tidak pendendam, senang berbagi kebahagiaan, dan tidak menebarkan teror dan intimidasi di bulan suci, yang juga bulan ubun-ubun politik ini.
Kalau muslim bisa menyempurnakan Ramadan dengan pengagungan dan kasih sayang, Ramadan ini akan menjadi suluh penerang untuk pribadi dan lingkungannya. Ia akan membawa kedamaian dalam dirinya, juga masyarakat sekitarnya. Ia bisa melangitkan dan membumikan Ramadan sekaligus. Dialah sesungguhnya orang yang bertemu dan menyaksikan kehadiran Ramadan. Dialah yang betul-betul merasakan venue, milieu, dan menu Ramadan.
Tapi kalau tidak demikian, dikhawatirkan ia termasuk orang yang ditengarai Nabi Muhammad SAW: ”beberapa orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa pun dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga.” Itulah orang yang melewati bulan Ramadan, tapi tidak pernah bertemu dan menyaksikan Ramadan.
*Alumnus Nasy’atul Muta’allimin Gapura dan Al-Amien Prenduan