Penulis: Ahzam Habas
Dalam kultur kehidupan aristokrat Madura, para kiai sejak zaman kesultanan diletakkan dalam struktur sosial yang setara dengan kelas bangsawan.
Sebab, mereka dipandang linuwih. Mereka mengajari putra-putri sultan membaca Al-Qur’an dan pendidikan keagamaan secara mendalam. Mereka juga terbiasa dimintai nasihat untuk memecahkan persoalan pemerintahan dan kemasyarakatan.
Karena itu, para Indonesianis seperti Clifford Geertz memasukkan para kiai sebagai patron orang-orang keraton. Mereka umumnya menikmati privilege dan hidup berkecukupan.
Ketika terjadi perubahan bentuk pemerintahan pasca kemerdekaan, dari monarki ke demokrasi, posisi para kiai ini mulai bergeser.
Jika dulu para kiai menjadi patron utama dalam pusat lingkaran kekuasaan keraton, kini secara perlahan mulai terpinggirkan.
Para kiai dalam konteks saat ini adalah mereka yang mendirikan pondok pesantren secara mandiri dan mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam lingkungan tersendiri. Umumnya jauh dari pusat keramaian.
Dalam sistem pendidikan agama yang terus terpolarisasi, dewasa ini dikenal pula profesi guru ngaji yang berbeda dengan para kiai.
Guru ngaji ini umumnya mendirikan surau. Tempat bagi anak-anak belajar membaca Al-Qur’an untuk kali pertama sebelum melanjutkan ke pesantren atau pendidikan formal lainnya.
Bagi generasi yang lahir pada era 70-an, saat lampu teplok menjadi penerangan rumah warga di pelosok-pelosok, pastilah akrab dengan suasana surau dan guru ngaji yang kadang sangat galak.
Mereka tekun mengajari anak-anak kecil di kampung-kampung selepas azan magrib berkumandang dengan sarana seadanya.
Hanya, guru ngaji saat ini berada dalam struktur sosial yang berbeda dengan pegawai negeri, karyawan, atau buruh pabrik.
Mereka tak punya penghasilan tetap dan menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian atau perikanan. Walaupun di saat yang sama mereka menanggung beban yang tak bisa dipandang remeh.
Merekalah, para guru ngaji yang menjadi gantungan harapan orang tua yang menginginkan anak-anaknya fasih membaca Al-Qur’an. Mereka juga yang dibebani tanggung jawab untuk menjadikan anak-anak milenial mengenal pendidikan dasar keagamaan.
Kita tahu, anak-anak milenial saat ini terjebak dalam era toksik akibat candu media sosial seperti Tiktok dan YouTube. Sulit sekali menjauhkan mereka dari gawai dan menyuruh mereka ke surau secara teratur untuk belajar mengaji kitab suci.
Dulu, ketika Bung Karno berpesan bangsa yang besar adalah bangsa yang (tahu cara) menghargai jasa pahlawan, maka kini Bupati Fauzi mampu mengkontekstualkan (baca: membumikan) pesan bersejarah itu.
Bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang gugur dalam kecamuk perang kemerdekaan yang berlangsung berjilid-jilid selama ratusan tahun. Namun, juga para guru ngaji yang mengabdikan hidupnya mengajarkan anak-anak dengan pendidikan Al-Qur’an.
Bagi saya, tak ada mantan guru. Apalagi, guru ngaji. Mereka, orang-orang yang rela bekerja dalam sunyi. Sampai mereka pun kadang tak mendengar jika santrinya kini telah menjadi bupati yang peduli (memberi bantuan) kepada guru ngaji. (*)
)*Saat ini bermukim di Jogjakarta