Oleh ABD. HANNAN*
ADA yang menarik ketika Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura Saiful Hadi tampil pada acara bincang santai, Madura Talk Radar Madura TV (25/05/22). Pada kesempatan tersebut, dirinya menyinggung sejumlah gagasan besarnya terkait road map ”pembangunan” akademik di IAIN Madura. Bahwa dalam masa kepemimpinan dirinya ke depan, ada tiga program unggulan yang akan menjadi fokus kerjanya; moderasi beragama, digitalisasi kelembagaan, dan pengembangan inovasi-kreasi mandiri di internal institusi dengan menitikberatkan kemahasiswaan sebagai prioritas.
Dari ketiga agenda di atas, paling menarik untuk dinalar adalah gagasan besar dirinya terkait pengembangan inovasi dan kreasi di level internal kelembagaan. Dengan konsep pengembangan inovasi dan kreasi tersebut, kampus diharapkan dapat menjadi lebih produktif memproduksi dan mereproduksi penemuan-penemua baru, terutama melalui pemberdayaan dan pendayagunaan sumber daya manusia (baca: mahasiswa) secara mandiri. Dengan begitu, kampus yang selama ini diidentifikasi banyak kalangan sebagai tempat bersemayamnya kaum intelektual dapat menjadi lokomotif perubahan, yang tidak saja dapat berkontribusi besar melakukan eksternalisasi nilai idealisme di level alam pikiran (keilmuan). Lebih dari itu, juga dapat berperan sentral sebagai referensi di level alam sosial guna meneguhkan dirinya sebagai solusi (problem solver) atas beragam permasalahan yang saat ini tengah melanda masyarakat kontemporer.
Dalam rangka mengejawantahkan program kerja kepemimpinannya tersebut, Saiful Hadi memperkenalkan konsep norma etik yang sekaligus menjadi kata kunci atau paradigma programnya. Melalui paradigma ini ada harapan terwujudnya revitalisasi norma atau nilai akademis di lingkungan kampus, yang dewasa ini harus diakui tengah dihadapkan pada tantangan multiaspek. Revitalisasi norma etik menjadi titik balik menguatnya tradisi mimbar kebebasan akademis dan nalar kritis di kalangan mahasiswa, sehingga dengannya atmosfir keilmuan di ranah kampus menjadi lebih hidup dan menggeliat.
Tak kalah pentingnya, konsep norma etik juga ia tujukan untuk menyasar pembangunan dimensi etik mahasiswa yang berorientasi pada penajaman karakter diri. Pada tataran praktiknya, dimensi etik di sini akan dijalankan dengan memperhatikan tiga aspek sekaligus; aspek kepemimpinan, aspek literasi, dan terakhir adalah aspek entrepreneur. Dalam konteks ini, revitalisasi dimensi etik menjadi semacam program revolusi mental kampus untuk memperkuat jati diri mahasiswa agar menjadi pribadi yang memiliki kemampuan diri seimbang, baik secara intelektual maupun spiritual (religius dan kompetitif).
Norma Etik sebagai Paradigma
Dalam diskursus dunia kampus, gagasan tentang penguatan paradigma sejatinya sudah lama didengungkan, baik di tataran filosofis maupun praktik. Pada level filosofis, ide tentangnya mulai bergulir sejak munculnya beragam desain keilmuan, yang masing-masing kampus memiliki model ”pembangunan” berbeda. Di lingkungan perguruan tinggi keagamaan negeri Islam, ada banyak kampus sudah melakukan ini. Misal, kampus UIN Sunan Kalijaga dengan paradigma integrasi-interkoneksinya, UIN Malik Ibrahim dengan konsep Jaring Laba-Laba, di UIN Sunan Ampel ada Twin Tower yang mengandung arti pengintegrasian dua kutub tradisi keilmuan berbeda, sains dan agama. Adapun di level praktik, gagasan penguatan paradigma keilmuan dapat ditemukan pada adanya transformasi kelembagaan kampus, dari sekolah tinggi bertransformasi menjadi institut, kemudian bertransformasi kembali menjadi uiniversitas.
Menariknya, melalui penguatan paradigma semacam ini, sederat kampus keagamaan negeri di Indonesia terbukti berhasil menjalankan fungsi tridarma. Eksistensi mereka sebagai ruang diskursif akademik berbasis keagamaan tidak saja diakui di bidang teologi, namun lebih dari itu, mereka berhasil memperluas ekspansi keilmuannya hingga ke bidang lain yang notabene di luar spesialisnya (keagamaan), bahkan mampu bersaing ketat dengan kampus berplatform pure science sekalipun. Ini membuktikan bahwasanya gagasan paradigma keilmuan menempati posisi dan peran fundamental dalam proses pembangunan kampus. Dalam konteks ini—meminjam bahasa Thomas Kuhn—paradigma keilmuan berkedudukan sebagai cara pandang dan prinsip dasar (poin of view) dalam upaya memahami realitas kampus secara jernih dan jelas, sehingga segala proses pengambilan kebijakan, sikap, dan tindakan di dalamnya menjadi lebih terarah, tepat, dan baik.
Dalam kerangka pikir inilah sesungguhnya gagasan norma etik sebagai paradigma pembangunan kampus mendapati ruang kebenarannya, baik secara filosofis maupun praktik. Melalui gagasan ini ada harapan kultur idealisme kampus akan lebih terjaga dan terpelihara di tengah gempuran teknologi dan media informasi yang dalam dua dekade terakhir mengalami kemajuan sangat pesat nan cepat. Gagasan norma etik yang di dalamnya mengusung revitalisasi dua nilai, nilai akademik dan nilai karakter, menjadi semacam blueprint ideal untuk menangkal dan menjawab tantangan global. Dengannya, ada harapan kampus dapat memperkuat eksistensinya di tengah masyarakat, sehingga cita agung kampus sebagai ruang propulis discimus (perjuangan untuk rakyat)—sebagaimana didengungkan Plato saat dirinya mendirikan kampus pertama di dunia bernama Academia— itu dapat terwujud dan menjadi nyata.
Tentu, untuk mencapai ke sana tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Walau bagaimanapun, kampus adalah simpulan kelembagaan yang terdiri dari banyak substruktur atau unit. Langkah ke sana tidak akan berhasil sekadar mengandalkan model kerja one man show, butuh keserentakan, kesadaran, kesanggupan, dan kesediaan diri membangun kolektivitas. Karenanya, selain membutuhkan perencanaan yang matang dan terukur, tidak kalah penting darinya adalah bagaimana menciptakan atmosfir budaya kerja sama dan sama kerja di tataran kelembagaan secara menyeluruh. Wallahu a’lam bis-sawab. (*)
*)Dosen Sosiologi di Prodi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Tarbiyah, IAIN Madura