Oleh ACHDIAR REDY SETIAWAN*
PERBINCANGAN tentang sosok ibu tak akan ada pernah ada habisnya. Tidak hanya di seputar momen Hari Ibu 22 Desember ataupun Hari Kartini 21 April. Setiap diri akan selalu tafakur jika diajak membahas peran sentral sosok ibu pada hidupnya. Suasana kebatinan semacam ini pulalah yang menguar tatkala jemaah Maiyah simpul Sumenep, Damar Ate, meriung pada rutinan bulanan sinau bareng edisi Januari 2023. Agenda meng(k)aji bersama yang dihelat pada 29 Januari 2023 dan bertempat di Kanca Kona Kopi ini mengangkat tema ”Ibu, Ada Surga di Telapak Kakimu”.
Namun ada yang sedikit berbeda pada diskusi malam itu. Sosok ibu, perempuan berhati samudera, dibahas oleh dua narasumber yang menjalankan peran ibu sekaligus ayah. Ya, dua pemantik diskusi itu adalah single parent, orang tua tunggal bagi putra-putrinya. Mereka adalah Megawati dan Faizah. Keduanya adalah ketua umum dan ketua I sebuah perhimpunan yang menamakan dirinya GWC (Great Widow Community). Secara harfiah, terjemahan bebasnya adalah ”komunitas janda hebat”. Namun, anggota organisasi ini lebih senang mengartikannya ”komunitas perempuan hebat”. Ya, organisasi ini berisikan para perempuan yang menjalani takdir untuk membesarkan anaknya sendirian. Menarik mendengarkan sudut pandang perempuan yang menjalankan dua peran orangtua bagi putra-putrinya.
Dalam konstruksi sosial masyarakat, stereotip yang memiriskan masih melekat kuat pada lema ”janda”. Setiap tutur, sikap, dan tindakan yang dilakukan perempuan yang terpaksa berpisah dari suaminya (entah karena cerai hidup atau ditinggal pergi selamanya dari dunia) senantiasa di bawah tatapan tajam kaum laki-laki di sekitarnya. Masih menyembul luas pandangan miring yang meletakkan single mom ini dalam posisi sulit. Satu sisi ia harus terus berjalan guna menghidupi putra-putrinya. Di sisi lain, ada banyak keterbatasan ruang gerak karena begitu tajamnya perhatian lingkungan pada setiap gerak yang dilakukan. Belum lagi perilaku segelintir kaum Adam yang menjadikan para janda sebagai bahan gurauan, olok-olok, bahkan pelecehan yang lebih serius.
Maka, persamuhan malam itu menjadi penting artinya bagi khalayak untuk mengetahui sudut dan arah pandang perempuan hebat ini dalam jarak pandang yang lebih empatik. Kata ”janda hebat” yang melekat pada organ GWC sejatinya adalah sebuah penegasan bahwa para perempuan yang juga kepala keluarga ini tidak boleh diremehkan begitu saja. Stigma ”janda” yang masih negatif perlu diluruskan, sehingga sama mulianya dengan perempuan lain yang juga menjadi ibu bagi anak-anaknya. Bahkan, apresiasi lebih perlu ditangkupkan karena peran ganda sungguh tidak mudah.
Secara bergiliran, Megawati dan Faizah mengungkapkan pengalamannya berhadapan dengan tatapan dan ungkapan manusia lain yang tak jarang sinis dan nyinyir. Tatkala takdir untuk menjadi ibu tunggal itu hadir, tidak sedikit kaum perempuan ini tidak terlalu berani bebas dan merdeka mengekspresikan diri di tengah masyarakat. Padahal, hidup harus terus berjalan. Mereka harus bekerja mencari nafkah untuk menjadikan putra-putrinya berkembang sama dengan anak-anak yang lain. Mengenyam pendidikan setinggi mungkin, mengonsumsi gizi terbaik, dan beraktivitas padha kapprana dengan yang lain. Adanya kesamaan nasib yang harus diperjuangkan inilah yang menginspirasi para perempuan hebat ini berkumpul dalam satu wadah. Berkat bantuan pejuang kemanusiaan, Mas Zairi, wadah ini secara formal dilegalkan berbadan hukum resmi sejak 4 April 2022.
GWC adalah simbol perempuan hebat yang tidak boleh diremehkan keberadaannya. Janda, dalam kesadaran terdalam mereka, bukanlah posisi yang dengan seenaknya menjadi bahan olok-olokan. Dengan berkumpul, perlawanan untuk mengikis stigmatisasi negatif atas keberadaan menjadi lebih solid. Ruang gerak dan kerja sama yang saling menguatkan akan tercipta. Di sisi lain, masyarakat umum (juga negara) harus mendukung agar mereka dapat membesarkan putra-putrinya tanpa terkekang belenggu pandangan yang mengimpit.
Pada titik tekan yang utama, bab pemberdayaan ekonomi menjadi pilar penting bagi para single parent ini. Tugas menafkahi keluarga yang seharusnya ada di pundak ayah terpaksa dipanggul pula oleh para ibu ini. Ada banyak keahlian yang dimiliki anggota GWC ini yang bisa saling disinergikan. Ada yang menjadi penjahit, katering, pengusaha makanan ringan, guru, dan lain sebagainya. Ada pelbagai program pemberdayaan di ranah ekonomi ini yang seluruhnya diarahkan untuk menjadi penghasilan yang ajek dan menghidupi putra-putrinya. ”Empowering together with love”, tagline GWC ini sungguh tepat dihunjamkan pada perjuangan perempuan luar biasa ini: memberdayakan bersama dengan balutan cinta.
Mendengarkan pengalaman ibu-ibu tunggal ini pada akhirnya semakin membuhulkan kesadaran bahwa mereka ini adalah pahlawan dan pejuang kehidupan. Sosok ”ibu” yang begitu dimuliakan oleh agama menjadi lebih terang benderang ketika menyaksikan kiprah para janda yang sekaligus berperan sebagai ayah ini. Dia tidak sekadar ”madrasatul ula”, sekolah pertama bagi anaknya, tapi juga lambang perjuangan membesarkan putra-putrinya seorang diri. Sosok ibu yang lembut dan perhatian beriringan dengan karakter ayah yang tegas dan berpendirian ada dalam satu tubuh.
Pada tugas kemandirian ekonomi, jemaah malam itu juga belajar bahwa perempuan harus bersiap sejak dini untuk tidak menggantungkan hidupnya pada apa pun dan siapa pun. Pun pada laki-laki. Sebab, saat takdir itu datang (baca: bercerai), maka perempuan tidak gagap menghadapi situasi yang tergolong sulit itu. Ia akan mampu tetap tegak berdiri, menakhodai bahtera berpenumpang anak-anaknya menghadapi debur ombak dan samudera yang menghadang.
Khalil Tirta, penggawa Damar Ate, lantas menyitir ajaran Islam yang menegaskan bahwa dependensi pada sesama makhluk itu tidak boleh ada. Manusia hanya boleh bergantung kepada Sang Khaliq, tawakkaltu ala Allah. Maka, pada aspek kemandirian (terutama pasal ekonomi, juga sosial) inilah, gerak GWC juga diprioritaskan. Faizah menggarisbawahi bahwa kemandirian ini terdiri dari empat dimensi: tanggung jawab, otonomi (kemampuan memutuskan sendiri), inisiatif (dalam pikiran dan tindakan yang kreatif), serta pengendalian atas perkataan dan tindakan. Ketika kemandirian ini sudah menjadi sikap, maka segala tentangan dan tantangan yang datangnya dari luar diri, akan dengan mudah dilawan dan ditepiskan.
Waba’du, jemaah Maiyah malam itu pulang dengan membawa perspektif kesadaran yang baru. Bahwa, keberadaan perempuan kepala keluarga ini perlu diapresiasi, bahkan didukung dan dibantu dengan segala macam kontribusi yang bisa dilakukan. Negara juga perlu hadir secara nyata untuk tidak menjadikan para perempuan ini sendirian memikul bebannya. Jikapun tidak bisa membantu, cukuplah dengan bersama-sama menghentikan stereotyping dan stigmatisasi yang menempatkan para perempuan hebat ini sebagai objek gurauan dan olok-olok. Sungguh, pada diri mereka, tersembul wajah ibu-ibu kita sendiri, kakak/adik perempuan kita sendiri, pun mungkin juga anak perempuan kita sendiri. Di atas perjuangan gigih para perempuan ini, kita akan belajar tentang begitu nyatanya letak surga itu. Al jannatu tahta aqdamil ummahat. (*)
*)Jemaah Maiyah, tinggal di Jurusan Akuntansi FEB Universitas Trunojoyo Madura