SANTRI merupakan julukan yang diberikan kepada seseorang yang berada dalam pondok pesantren dengan tujuan memperluas wawasan dan memperdalam ilmu agama sekaligus melakukan pengabdian agar mendapatkan barokah. Di antara karakteristik yang sangat melekat dengan sebutan santri adalah hidup sederhana, mandiri, solidaritas yang tinggi, serta memiliki sikap tawaduk. Tak salah jika dalam pandangan mayoritas masyarakat, mereka dipercayai sebagai manusia yang memiliki kualitas moral.
Sebagai unsur penting dalam kehidupan masyarakat, eksistensi santri selalu diharapkan menjadi penggerak utama dalam memperkaya khazanah keilmuan serta menyerukan perdamaian. Mengingat, santri tumbuh dan dibesarkan di bumi pesantren yang sampai saat ini masih layak disebut sebagai tempat reproduksi orang-orang alim (ulama).
Setidaknya, dalam pandangan umum, keberadaan santri harus mampu menampakkan pola sikap dan pola Pikir kesantriannya ketika ia kembali berbaur dalam kehidupan sosial masyarakat dengan modal keluhuran moral dan ilmu pengetahuan yang ia peroleh dalam pesantren. Dengan kalimat berbeda, apa pun profesinya, nilai religius dan nilai sosial harus tetap menjadi karakter dalam dirinya, sehingga dari setiap sikapnya akan selalu menjadi contoh bagi orang lain.
Jika kita kembali membaca sejarah kemerdekaan Indonesia, pasti akan ditemukan banyak catatan. Bahwa, salah satu yang menjadi pelopor kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari orang-orang pesantren. Termasuk di dalamnya adalah santri yang dipimpin langsung oleh sang kiai.
Kiprah santri waktu itu sangat terlihat jelas. Eksistensinya tidak hanya tentang kehidupan individualistik yang berorientasi pada kehidupan akhirat. Mereka juga memikirkan nasib bangsa yang saat itu masih terbelenggu, teraniaya, bahkan tersiksa oleh kaum penjajah. Rasa solidaritas dan cinta akan negaranya sendiri tak perlu ditanyakan lagi. Baginya, membela dan menjaga keutuhan bangsa dan negara merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, yang sedemikian itu adalah bagian dari keutuhan iman seorang muslim.
Karenanya, bisa saja diasumsikan bahwa bagi masyarakat pesantren waktu itu, keimanan seseorang tidak hanya dilihat bagaimana hubungan hamba dengan Tuhannya (hablun minallah). Hubungan baik sesama manusia (hablun minannas) yang terjalin dengan penuh keharmonisan juga merupakan indikator keimanan seseorang.
Kini, secara hukum internasional, Indonesia sudah diakui sebagai negara yang merdeka dan terbebas dari aksi brutal penjajah. Sebagai rakyat Indonesia, termasuk masyarakat pesantren, tidak boleh puas sampai di sini saja. Masih banyak problematika serta tantangan bangsa Indonesia ke depan. Semua itu adalah tanggung jawab kita bersama guna mengisi dan membangun Indonesia yang lebih baik.
Kita harus betul-betul menyadari sepenuh hati bahwa kemerdekaan bangsa ini bukanlah sebuah pemberian dari penjajah, melainkan didapatkan dari hasil jerih payah dan tetesan air mata bahkan ceceran darah para pahlawan bangsa. Mereka rela kehilangan harta, keluarga bahkan nyawa mereka sekalipun rela dijadikan sebagai taruhannya demi kedaulatan dan kebebasan bangsa Indonesia yang disimbolkan dengan ”kemerdekaan”.
Siapa pun yang hidup di masa kemerdekaan tidak boleh hanya menjadi penikmat dari hasil perjuangan para pahlawan. Mereka juga harus memiliki nilai-nilai juang dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan layaknya tokoh pendiri bangsa dahulu. Dengan demikian, eksistensinya tidak terkesan seperti mengabaikan dan menyia-nyiakan para pejuang kemerdekaan.
Begitu pun dengan kaum santri. Ketika hidup pada masa kemerdekaan, orientasinya tidak boleh melulu tentang kehidupan alam akhirat. Tetapi, juga disempurnakan dengan gairah perjuangan dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang pada gilirannya akan tercipta negara yang maju dan disegani oleh bangsa lain.
Banyak jalan yang bisa ditempuh santri dalam membangun negeri ini, Pertama, melalui jalur kekuasaan. Mereka bisa saja ikut andil dalam kontestasi panggung politik yang pada gilirannya menduduki kursi jabatan layaknya presiden, DPR, DPD, bupati, camat, kepala desa, dan lain sebagainya sehingga mereka pun memiliki peran utama dalam membangun bangsa. Kedua, melalui jalur pendidikan. Mereka bisa saja menjadi tenaga pendidik profesional yang akhirnya mampu mencetak kader-kader bangsa yang memiliki jiwa religius dan patriotisme. Ketiga, cukup menjadi bangsa Indonesia yang baik. Pada poin terakhir ini tentu tidak ada penekanan secara profesi. Hal yang paling penting adalah eksistensi dirinya harus mampu membangun bangsa dan menjaga keutuhan NKRI. Bukan justru sebaliknya.
Karenanya, sebagai bentuk refleksi sekaligus upaya untuk mengenang para pejuang kemerdekaan, penting kiranya bagi kaum santri di era milenial ini untuk memiliki kesadaran dan kesalehan sosial yang dilengkapi dengan kearifan serta kecerdasan intelektual guna mengisi kemerdekaan. Dengan begitu, eksistensi dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia tidak terkesan mengabaikan apalagi menyia-nyiakan pejuang kemerdekaan.
Paling tidak, dirinya sadar bahwa masih banyak yang harus mereka lakukan demi Indonesia yang lebih baik lagi.
*)Alumnus Ponpes Riyadlus Sholihin Laden Pamekasan. Dosen IAIN Madura