23.5 C
Madura
Monday, May 29, 2023

Desa Organik: Harapan atau Peluang

KEPALA desa dan aparatur pemerintah desa penting melibatkan banyak unsur. Mulai tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, seniman, budayawan, mahasiswa, santri, dan siapa pun senyampang mampu berkontribusi terhadap pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Why not? Kritik yang ada jangan dianggap sebagai reaksi ketidaksukaan karena membangun desa, diakui atau tidak, tidak cukup hanya dibangun bersama orang yang berada di lingkaran terdekatnya. Ini bukan urusan like or disklike. Tetapi, pikiran inklusif penting untuk segera dibuka kerannya. Ini semua demi kemajuan desa yang kita cintai bersama.

Jika gagasan besar ini dimulai bukan tidak mungkin masyarakat akan betah hidup di desanya sendiri. Mereka akan bahagia mengelola sejengkal tana sangkol yang menjadi warisan leluhurnya. Akan nikmat saat memelihara dan memberikan makan hewan piaraannya. Saya bermimpi bagaimana warga Ponggok tak satu pun yang melancong ke luar daerah karena di desanya sudah makmur. Satu dua tahun ke depan bisa ditularkan di kampung halaman kita tercinta. Tentu, semua berpulang pada seberapa besar good will para elite desanya.

Dana desa Rp 1 milar lebih per tahun perlu dikelola dengan kemampuan. Bukan hanya persoalan akuntabilitas dan transparansi. Lebih dari itu, perlu ada terobosan-terobosan baru yang tidak hanya berkutat pada soal aspal, paving, drainase, makadam, dan lainnya. Kepala desa dan perangkatnya perlu menggandeng perguruan tinggi yang mahasiswanya bisa ditempatkan di desanya saat semester akhir untuk KKN (kuliah kerja nyata) yang berkualitas. KKN yang berbasis riset, kontributif, dan ada dampak perubahan berkelanjutan terhadap ekonomi kerakyatan, baik di sektor pertanian maupun peternakan setelah KKN.

Ponggok berhasil mengorbit desanya dari sisi infrastruktural dan SDM (sumber daya manusia). Sudah mampu memberikan uang saku Rp 400.000 setiap mahasiswa per bulan dengan program satu rumah satu sarjana. Seandainya program BUMDes di Sumenep jalan meskipun tidak sama persis dengan Desa Ponggok, beberapa desa di Sumenep memiliki potensi yang tidak kalah dengan Ponggok. Kepala desa yang visioner punya wawasan pentingnya pendidikan, ilmu-ilmu sains dalam memajukan desa dengan dibantu tenaga pendamping desa yang saya yakini sudah kompeten, insyaallah menyusul Ponggok-Ponggok baru.

Baca Juga :  Harga Menakar Sejahtera

Empat paragraf tulisan di atas saya ambil dari status WhatsApp Kiai A. Tirmidzi Mas’ud setelah saya konfirmasi kepada beliau terkait gagasan itu. Bagi saya, gagasan ini penting dan bagus serta luar biasa untuk keberlanjutan desa-desa di Sumenep dalam memberdayakan SDM desa untuk pengembangan dan kemanjuan desa untuk mengelolah sumber daya alam (SDA).

Sejak disahkan Undang-Undang Desa, belum ada pemerintah desa di Sumenep dengan warganya untuk mencari potensi desa dan memberdayakan desa. Misalnya, aparatur desa mencari tahu pontensi tanah yang cocok untuk ditanami. Pendamping desa pun belum memiliki gagasan bagaimana desa itu berdaya dengan potensi desa. Artinya, pendamping desa dan pemerintah desa jangan ”hanya” berpikir draf yang sifatnya struktural, akan tetapi memikirkan bagaimana potensi desa benar-benar dikuasai dan dikelola untuk kepentingan masyarakat desa. Misalnya, kerja sama dengan program organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk memadukan program-programnya. Di sini pentingnya integrasi keilmuan.

Ini bisa dimulai dari syarat calon kepala desa dan aparatur desa. Dengan demikian, struktur pemerintah desa benar-benar manusia yang memiliki wawasan keilmuan yang cukup. Minimal memiliki relasi kerja sama. Ini penting dilakukan sedini mungkin. Calon Kades tidak melulu laki-laki, perempuan pun tidak apa-apa.

Akses mencari ilmu dan pengetahuan dibuka lebar-lebar. Jadi, siapa pun boleh asal kualitas SDM-nya benar-benar pembelajar ideal yang lebih mengedepankan substansial daripada pada material walaupun material pun penting.

Baca Juga :  Merekatkan Hubungan Silaturahmi

Seperti dilakukan Kiai Tirmidzi saat mengundang Prof Dr Hary untuk belajar memanfaatkan sejengkal tanah dan merawat lingkungan. Siapa lagi kalau bukan pemerintah desa dan warga desa yang harus memiliki gagasan untuk mengembangan dan memajukan desa? Sebab, desa adalah kekuatan, kata Iwan Fals. Bagaimana bisa menjadi kuat bila kita tidak mampu mengelola dengan baik. Di sinilah pentingnya SDM dalam mengembangkan dan memajukan desa. Dana Rp 1 miliar setiap tahun itu sangat besar. Saya kira cukup untuk mengundang pakar ekologi guna mengetahui potensi tanah dan pepohonan. Kalau di desa tidak ada warga yang paham.

Dengan demikian, sudah saatnya dana desa digunakan untuk pemberdayaan dan pengelolaan SDM dan SDA untuk keperluan warga sehari-hari agar desa tidak kosong. Sebab kalau desa kosong, tanah akan dijual dan warga pribumi merantau sementara tanah kelahiran dibiarkan kosong. Desa adalah lumbung kekuatan negara, lumbung kekuatan pangan, dan lumbung kekuatan kebutuhan manusia. Jika kekuatan ini dibiarkan dikelola orang luar desa yang tidak paham konteks desa yang di dalamnya mengandung budaya dan mengandung tradisi, kehancuran menunggu desa.

Kekuatan desa di samping SDM dan SDA, adalah nilai-nilai budaya dan tradisi yang dijalankan dan dijaga warga desa sebagai warisan leluhur desa. Kalau ini dibiarkan, ditenggelamkan, dan dimusnahkan, bukan tidak mungkin desa-desa itu akan menjadi sarang ketakberdayaan. Akhirnya, warga desa hanya disuruh ke barat dan ke timur seperti pe-sapeyan papa. Menjadi manusia tanpa akal, manusia tanpa hati, manusia tanpa daya. Mati sebelum saatnya. 

 

*Esais dan dosen STKIP PGRI Sumenep

KEPALA desa dan aparatur pemerintah desa penting melibatkan banyak unsur. Mulai tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, seniman, budayawan, mahasiswa, santri, dan siapa pun senyampang mampu berkontribusi terhadap pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Why not? Kritik yang ada jangan dianggap sebagai reaksi ketidaksukaan karena membangun desa, diakui atau tidak, tidak cukup hanya dibangun bersama orang yang berada di lingkaran terdekatnya. Ini bukan urusan like or disklike. Tetapi, pikiran inklusif penting untuk segera dibuka kerannya. Ini semua demi kemajuan desa yang kita cintai bersama.

Jika gagasan besar ini dimulai bukan tidak mungkin masyarakat akan betah hidup di desanya sendiri. Mereka akan bahagia mengelola sejengkal tana sangkol yang menjadi warisan leluhurnya. Akan nikmat saat memelihara dan memberikan makan hewan piaraannya. Saya bermimpi bagaimana warga Ponggok tak satu pun yang melancong ke luar daerah karena di desanya sudah makmur. Satu dua tahun ke depan bisa ditularkan di kampung halaman kita tercinta. Tentu, semua berpulang pada seberapa besar good will para elite desanya.

Dana desa Rp 1 milar lebih per tahun perlu dikelola dengan kemampuan. Bukan hanya persoalan akuntabilitas dan transparansi. Lebih dari itu, perlu ada terobosan-terobosan baru yang tidak hanya berkutat pada soal aspal, paving, drainase, makadam, dan lainnya. Kepala desa dan perangkatnya perlu menggandeng perguruan tinggi yang mahasiswanya bisa ditempatkan di desanya saat semester akhir untuk KKN (kuliah kerja nyata) yang berkualitas. KKN yang berbasis riset, kontributif, dan ada dampak perubahan berkelanjutan terhadap ekonomi kerakyatan, baik di sektor pertanian maupun peternakan setelah KKN.


Ponggok berhasil mengorbit desanya dari sisi infrastruktural dan SDM (sumber daya manusia). Sudah mampu memberikan uang saku Rp 400.000 setiap mahasiswa per bulan dengan program satu rumah satu sarjana. Seandainya program BUMDes di Sumenep jalan meskipun tidak sama persis dengan Desa Ponggok, beberapa desa di Sumenep memiliki potensi yang tidak kalah dengan Ponggok. Kepala desa yang visioner punya wawasan pentingnya pendidikan, ilmu-ilmu sains dalam memajukan desa dengan dibantu tenaga pendamping desa yang saya yakini sudah kompeten, insyaallah menyusul Ponggok-Ponggok baru.

Baca Juga :  Belajar Kalah dari Puasa

Empat paragraf tulisan di atas saya ambil dari status WhatsApp Kiai A. Tirmidzi Mas’ud setelah saya konfirmasi kepada beliau terkait gagasan itu. Bagi saya, gagasan ini penting dan bagus serta luar biasa untuk keberlanjutan desa-desa di Sumenep dalam memberdayakan SDM desa untuk pengembangan dan kemanjuan desa untuk mengelolah sumber daya alam (SDA).

Sejak disahkan Undang-Undang Desa, belum ada pemerintah desa di Sumenep dengan warganya untuk mencari potensi desa dan memberdayakan desa. Misalnya, aparatur desa mencari tahu pontensi tanah yang cocok untuk ditanami. Pendamping desa pun belum memiliki gagasan bagaimana desa itu berdaya dengan potensi desa. Artinya, pendamping desa dan pemerintah desa jangan ”hanya” berpikir draf yang sifatnya struktural, akan tetapi memikirkan bagaimana potensi desa benar-benar dikuasai dan dikelola untuk kepentingan masyarakat desa. Misalnya, kerja sama dengan program organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk memadukan program-programnya. Di sini pentingnya integrasi keilmuan.

Ini bisa dimulai dari syarat calon kepala desa dan aparatur desa. Dengan demikian, struktur pemerintah desa benar-benar manusia yang memiliki wawasan keilmuan yang cukup. Minimal memiliki relasi kerja sama. Ini penting dilakukan sedini mungkin. Calon Kades tidak melulu laki-laki, perempuan pun tidak apa-apa.

- Advertisement -

Akses mencari ilmu dan pengetahuan dibuka lebar-lebar. Jadi, siapa pun boleh asal kualitas SDM-nya benar-benar pembelajar ideal yang lebih mengedepankan substansial daripada pada material walaupun material pun penting.

Baca Juga :  Perang Terbesar di Bulan Ramadan

Seperti dilakukan Kiai Tirmidzi saat mengundang Prof Dr Hary untuk belajar memanfaatkan sejengkal tanah dan merawat lingkungan. Siapa lagi kalau bukan pemerintah desa dan warga desa yang harus memiliki gagasan untuk mengembangan dan memajukan desa? Sebab, desa adalah kekuatan, kata Iwan Fals. Bagaimana bisa menjadi kuat bila kita tidak mampu mengelola dengan baik. Di sinilah pentingnya SDM dalam mengembangkan dan memajukan desa. Dana Rp 1 miliar setiap tahun itu sangat besar. Saya kira cukup untuk mengundang pakar ekologi guna mengetahui potensi tanah dan pepohonan. Kalau di desa tidak ada warga yang paham.

Dengan demikian, sudah saatnya dana desa digunakan untuk pemberdayaan dan pengelolaan SDM dan SDA untuk keperluan warga sehari-hari agar desa tidak kosong. Sebab kalau desa kosong, tanah akan dijual dan warga pribumi merantau sementara tanah kelahiran dibiarkan kosong. Desa adalah lumbung kekuatan negara, lumbung kekuatan pangan, dan lumbung kekuatan kebutuhan manusia. Jika kekuatan ini dibiarkan dikelola orang luar desa yang tidak paham konteks desa yang di dalamnya mengandung budaya dan mengandung tradisi, kehancuran menunggu desa.

Kekuatan desa di samping SDM dan SDA, adalah nilai-nilai budaya dan tradisi yang dijalankan dan dijaga warga desa sebagai warisan leluhur desa. Kalau ini dibiarkan, ditenggelamkan, dan dimusnahkan, bukan tidak mungkin desa-desa itu akan menjadi sarang ketakberdayaan. Akhirnya, warga desa hanya disuruh ke barat dan ke timur seperti pe-sapeyan papa. Menjadi manusia tanpa akal, manusia tanpa hati, manusia tanpa daya. Mati sebelum saatnya. 

 

*Esais dan dosen STKIP PGRI Sumenep

Artikel Terkait

Lapangkan Jalan Pulang

Baju Baru, Ujub dan Korupsi

Lebaran

Tebar Pesona di Tahun Politik

Most Read

Artikel Terbaru

/