POLITIK kadang membuat geli dan ngeri. Geli karena kader partai politik (parpol) seakan diperbudak saat mengikuti kontestasi politik. Bahkan, ketika sudah jadi sekalipun, parpol membuat ruang gerak kepala daerah maupun anggota dewan sempit.
Ngeri karena para pendukung tokoh politik saling memojokkan, mencaci maki, bahkan mengadu domba. Di media sosial (medsos) sampai berujung pertengkaran. Di dunia nyata, hal itu ditopang teknologi informasi (TI) yang semakin canggih. TI mempermudah penggunanya koar-koar sesuka hati tanpa berpikir panjang akan dampak dan akibatnya.
Situasi ini mengajarkan hal yang kurang baik kepada generasi bangsa. Generasi yang katanya ”calon pemimpin” ini seharusnya dicekoki dengan hal-hal positif agar meraih prestasi gemilang dan membanggakan keluarga tercinta dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 2018 ini hingga 2019 merupakan tahun politik. Tahun ini ada pilkada. Tahun depan ada pemilu. Pesta demokrasi lima tahunan. Di Madura, tiga kabupaten –selain Sumenep– sudah melaksanakan pilkada. Namun, pengambilan sumpah terhadap kepala daerah terpilih tidak bersamaan.
Pilkada Sampang 2018 sempat masih disengketakan. Di Sampang sengketa pemilu sebenarnya bukan hal baru. Pada 1997, Sampang menjadi satu-satunya daerah tingkat dua di Indonesia yang dilakukan pemilu ulang.
Peristiwa itu terjadi saat masa Orde Baru. Yang melatarbelakangi ialah rekayasa dan manipulasi suara oleh penguasa demi memenangkan Golkar. Pada 29 Mei 1997 terjadilah kerusuhan masal di kota maupun desa. Kotak suara dibakar dan menuntut pemilu ulang. Pasca kerusuhan, barulah pemerintah menyetujui digelar pemilu ulang. Tepatnya, 4 Juni 1997. Walaupun dalam pelaksanaannya masih sarat tipu daya.
Pemilu 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan penghitungan ulang di enam kecamatan. Di Robatal, Sampang (khusus Desa Gunung Maddah), Kedungdung, Banyuates, Sokobanah, dan Ketapang.
Pemilu ulang ini didasarkan atas laporan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyebut ada penggelembungan suara di Sampang. Menanggapi laporan ini, MK memberikan perintah kepada pelaksana pemilu berdasarkan Surat Ketetapan Nomor 031/PHPU.C1-II/2004 untuk melakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat penghitungan suara.
MK memerintahkan KPU membawa kotak suara dari Madura ke Jakarta untuk dihitung ulang. Di Jakarta, ternyata kotak suara tidak utuh. Separo kotak suara kosong.
Kecurangan kembali mencuat pada pelaksanaan Pilkada Jawa Timur 2008. Sampang kembali mencatat rekor dalam pesta demokrasi tingkat provinsi di Indonesia. Di provinsi lain belum ada pemilihan gubernur sampai tiga putaran. Hanya di Sampang dan Bangkalan fenomena semacam itu terjadi.
Setahun kemudian, tepatnya pada pelaksanaan Pemilu 2009. Kasus yang mencuat yakni tuntutan terhadap penggelembungan suara DPD yang terjadi di Sampang. Abdul Jalil Latuconsina, salah seorang kontestan menggugat perolehan tidak wajar calon lainnya. Yakni, Haruna memperoleh 119.000 suara dan Badruttamam memperoleh 135.448 suara di Sampang.
Pada 2013, pelaksanaan Pilgub Jatim, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja (Berkah) menemukan kecurangan tidak disebarkannya undangan pada pemilih secara merata. Terutama di kantong-kantong pendukung Berkah. Hal itu terjadi di salah satu desa di Sampang.
Tim Berkah menemukan tidak disebarnya 12.000 undangan kepada pemilih. Di samping itu, indikasi kecurangan didapat dari temuan perolehan nol suara bagi pasangan Berkah di sejumlah desa.
Disusul pelaksanaan Pemilu 2014. Ada dua peristiwa yang menambah ”prestasi” memalukan di Sampang. Pertama, pemungutan suara ulang (PSU) untuk 19 TPS di Kecamatan Robatal dan Ketapang. Rekomendasi Bawaslu soal PSU dikeluarkan setelah menemukan sejumlah kejanggalan dalam Pemilu Legislatif pada 9 April 2014.
Tak sampai di situ, catatan kelam pemilihan di Sampang terus berlanjut belum lama ini. Tepatnya, 27 Juni 2018. MK menganulir hasil perolehan suara Pilkada Sampang 27 Juni lantaran jumlah DPT melebihi data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2) Kemendagri. MK memerintahkan PSU di semua TPS (1.450 TPS). Selain daftar pemilih tetap (DPT), Pilkada Sampang dianggap tidak logis dan tidak valid.
Menjelang Pemilu 2019, DAK2 dan DPT di Sampang selisih sangat tipis. Yakni 16.860 jiwa. Perinciannya, DPT pemilu 2019 dari 186 desa/kelurahan TPS berjumlah 3.692. Pemilih laki-laki 413.130 jiwa dan pemilih perempuan 424.381 jiwa. Total 837.511 jiwa. Sementara DAK2 di Sampang berjumlah 854.371 jiwa. Perinciannya, penduduk laki-laki 428.520 jiwa dan penduduk perempuan 425.851 jiwa.
Karena pemilu, Sampang berkali-kali menjadi sorotan nasional. Seharusnya berbagai pihak, utamanya pelaksana pemilu menunjukkan segala hal kurang baik menjadi lebih baik. Dengan begitu, pelaksanaan pemilu tidak memilukan. Mari perbaiki supaya segala hal yang seharusnya tidak terjadi semakin menjadi-jadi.
Menjelang tahun baru, ada harapan baru kepada bupati baru Sampang. Janji-janji pada saat kampanye seakan terus bergaung di gendang telinga. Tibalah saatnya janji-janji itu dibuktikan, usai pengambilan sumpah digelar, demi Sampang hebat dan bermartabat.
Masyarakat menunggu gebrakan H Slamet Junaidi-H Abdullah Hidayat (Jihad) untuk betul-betul berjihad demi kemajuan Sampang. Terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan peningkatan infrastruktur di Kota Bahari tercinta ini.