Oleh SYARIF HIDAYAT SANTOSO*
KESABARAN politik NU juga terlihat selama Orde Baru dalam politik Pancasilanya. NU-lah yang kali pertama setuju asas Pancasila, namun dengan konsep khas Aswaja yang tidak mendudukkan Pancasila sebagai agama atau pengganti agama. Hal ini memudahkan cairnya hubungan penguasa dengan rakyat muslim yang sebelumnya kaku.
Di masa ini, NU membangun bangunan ideologi yang sangat bagus yang tak terpikirkan bahkan oleh ulama Timur Tengah sekalipun, yaitu jangan sampai agama dibenturkan dengan nasionalisme. Jangan sampai kebangsaan menjadi sekuler dengan mengambil jarak dengan ajaran agama dan jangan sampai agama menjadi radikal dengan menjadikan kebangsaan sebagai lawan.
Secara praktis, NU di era Orde Baru mengakrabi kelompok nasionalis seperti PDI agar ide itu tak hanya menjadi narasi langit, tapi membumi. Persatuan nasionalis-Islam ini ternyata memiliki dampak signifikan di masa-masa berikutnya, tak hanya karena baik nasionalis marhaenis juga berbasis di Jatim dan Jateng, namun juga karena faktor politik persatuan itu.
Kesabaran NU terlihat lagi ketika NU sebagai komponen Islam terbesar dipancing untuk bertarung dengan kelompok nonmuslim. Kita masih ingat pada era akhir Orde Baru, timbul kerusuhan di basis-basis NU sejak Situbondo dan Tasikmalaya. Insiden pembakaran gereja dan toko-toko milik etnis keturunan di basis santri itu ternyata mengandung muatan SARA.
Logika yang dikemukakan adalah, peristiwa itu sebagai balas dendam atas dibakarnya masjid di Timor Timur. NU yang dipancing untuk masuk ke wilayah konflik ini justru tidak terpancing. NU justru merangkul kelompok nonmuslim dalam forum-forum bersama. Bahkan, ketika meletus kerusuhan Ambon dan Poso, NU dipancing dengan logika jihad oleh kelompok jihadis Indonesia. Ujaran yang disampaikan adalah kenapa Banser sibuk menjaga gereja dan tidak berjihad ke Ambon dan Poso. Ujaran ini jika ditanggapi dengan serius, justru akan semakin menyebabkan keadaan menjadi lebih runyam.
NU paham bahwa kerusuhan bernuansa SARA itu sebenarnya akan lebih dingin jika secara institusi NU tidak terlibat di dalamnya. NU sadar bahwa ketika konflik politik berkedok agama itu digaungkan, maka komponen yang dipancing untuk terlibat adalah NU sendiri. Jika NU sebagai komponen muslim terbesar sudah terpancing, maka dipastikan stabilitas negara akan goyang. Kaum nonmuslim secara nasional takkan percaya lagi dengan umat Islam dan ini sangat berbahaya, karena separatisme di Indonesia Timur selalu berupaya mengincar gereja agar masuk dalam barisannya.
Gagalnya separatis di Indonesia Timur seperti RMS di Maluku, OPM di Papua atau di masa lalu seperti Permesta di Sulawesi Utara disebabkan para separatis ini tidak mampu menarik para agamawan Kristen ke dalam barisannya. Wajar, jika ada pengeboman gereja, tokoh NU bersegera mengunjungi gereja, tujuannya tiada lain agar Islam tidak tertuding sebagai pelaku teror dan mereka (nonmuslim) tidak dirangkul kelompok separatis yang didukung kepentingan asing. Sampai hari ini, NU mampu mengunci kelompok strategis nonmuslim agar tidak tertarik ke dalam barisan separatis.
Pada gilirannya, siasat ini terbukti sekarang. Indonesia tetap utuh dari Sabang sampai Merauke. Hubungan baik NU dan komunitas nonmuslim ditandai dengan semakin suburnya masjid-masjid di basis nonmuslim. Hubungan baik ini tidak hanya dinikmati warga NU, tapi juga kelompok Islam lainnya. Ketika suatu ormas Islam bukan NU ingin mendirikan masjid di basis minoritas, biasanya mereka melobi NU dulu agar tujuan pendirian itu lancar.
Separatisme pun tak menemukan lobi masuk yang cukup terhadap kelompok nonmuslim karena kuatnya hubungan nonmuslim dengan NU. NU kenyang dengan pengalaman berhadapan dengan satelit Cina maupun satelit Barat. Dalam ranah geopolitik ini modal sejarah yang akan dibawa NU untuk menghadapi ancaman asing yang semakin nyata di depan mata. (*)
*)Warga NU Sumenep, alumnus Hubungan Internasional FISIP Unej.