Oleh HAZMI BASYIR*
SEBUT saja namanya Pak Ahmad. Usianya saat ini sudah memasuki paruh baya. Dia tipe orang desa tulen, sejak lahir hidup dan tinggal di desa nun jauh di sana. Sumber penghasilan utamanya adalah bertani pada dua petak ladang yang dimilikinya, warisan dari nenek moyang, dan beternak sepasang sapi. Juga ada unggas yang biasanya menjadi solusi mendadak saat ada kebutuhan mendadak yang tidak seberapa dengan menjualnya ke pasar.
Pak Ahmad dibesarkan di lingkungan masyarakat yang mengamalkan tradisi NU. Selama memungkinkan, dia tidak pernah melewatkan tahlilan saat ada orang meninggal, mengikuti peringatan Maulid Nabi, menjadi anggota perkumpulan sholawatan rutin bulanan, dan lain-lain. Bahkan,saat ada pengerahan massa untuk acara NU di ibu kota kecamatan atau kabupaten dia hampir tak pernah melewatkan dan siap berjubel dengan warga lain naik mobil bak terbuka.
Hingga kini dia memang tak pernah menjadi pengurus NU di tingkat terendah pun, tapi karena pengaruh lingkungan,akhirnya dia menjadi warga NU yang militan. Jangan pernah ada orang yang menjelek-jelekkan NU atau tokohnya, dia pasti akan melawan dengan argumentasi sesuai logika awamnya. Bahkan,saat Gus Dur, tokoh idolanya, menghadapi upaya pelengseran dari kursi presiden, dia berjalan petantang–petenteng ke sana kemari di jalanan kampungnya sembari membawa senjata tajam celurit untuk menunjukkan nyalinya yang siap menghadapi dan melawan siapa pun demi sang presiden idolanya.
Begitu pula saat dulu ramai isu ninja yang dipersepsikan menyasar kiai dan tokoh NU, Pak Ahmad termasuk orang yang menjadi penjaga kediaman salah seorang tokoh NU di desanya, tentu saja sebelumnya dia meminta amalan dan ijazah kekebalan kepada tokoh tersebut.
Bagi sebagian besar orang awam seperti Pak Ahmad, menjadi NU memang tak harus dengan memahami dan menguasai akidah ahlusunah waljamaah sebagaimana yang diajarkan pada acara kaderisasi, tapi cukuplah ikut mengamalkan tradisi yang dijalankan oleh warga NU di lingkungan sekitarnya.
Tetapi, dengan menjadi NU, bukan berarti Pak Ahmad tidak pernah mengalami kekecewaan. Sekali waktu dulu dia pernah dikoordinasi oleh pengurus NU untuk pembuatan kartu tanda anggota NU (Kartanu). Dia begitu bersemangat mengikuti acara sesi pemotretan, wajahnya terlihat semringah seolah memancarkan optimisme bahwa kartu itu akan menjadi semacam kartu sakti yang memberinya perlakuan atau fasilitas tertentu dalam sebagian urusan sehari-harinya. Dan ketika hari berganti minggu, minggu berganti bulan, kartu itu tak ubahnya hanya berfungsi sebagai jimat di lipatan peci hitamnya, Pak Ahmad seolah kehilangan sebagian kebanggaannya, apalagi jika dia ditanya hal yang sama oleh warga lain.
Belum berhenti di situ. Pak Ahmad punya pengalaman mengecewakan lainnya terkait perjuangan hidupnya, yaitu ketika suatu saat panennya gagal total dan kemudian dua ekor sapinya mati terkena wabah penyakit kuku dan mulut (PMK). Karena yang dia lihat, pengurus NU di kampungnya adalah tokoh paling karismatik dan dianggapnya punya jaringan ke pihak yang berkompeten, dia menghadap dan menanyainya tentang asuransi pertanian dan penggantian ternak yang mati karena PMK –informasi yang samar-samar dia dengar dari radio di warung kopi langganannya– yang ujung-ujungnya berbuah kecewa karena respons yang didapat tak sesuai harapan muluknya.
Namun, tetap ada momen heroik dalam hidup Pak Ahmad yang mungkin tak akan pernah dilupakannya. Dalam suatu momen pilbup di kabupatennya, dia termasuk pendukung fanatik salah satu calon yang tak lain adalah tokoh NU tingkat kabupaten. Ketika itu dia berjuang segenap jiwa dan raga. Bahkan, dia sempat mengeluarkan biaya sendiri untuk mengumpulkan warga di kampungnya dan menghadirkan pembicara dari tokoh NU setempat. Dan kepuasan diraihnya saat si calon akhirnya memenangkan pertarungan. Dia meyakini punya andil dalam kemenangan itu.
Suatu ketika Pak Ahmad diajak tetangganya untuk menghadiri sebuah acara pengajian di ibu kota kabupaten. Diadijemput mobil bersama warga lain yang sebelumnya sudah menyatakan siap hadir. Sepulang dari pengajian dia merasa bingung atas materi pengajian yang baru saja di dengarnya. Apalagi para hadirin di acara itu berpakaian berbeda dengan kiai atau tokoh NU yang selama ini ditemuinya. Seumur-umur baru kali inilah dia mendapat materi pengajian dan pemandangan baru yang menempatkannya pada rasa penasaran tak berkesudahan, yang pada akhirnya hal itu diadukannya pada tokoh NU di kampungnya. Disampaikannya apa yang tadi malam dia alami lengkap dengan segala pertanyaan yang mengisi kepalanya sepanjang malam sehingga tidak bisa tidur. Tokoh itu tentu sudah punya jawabannya, bahkan lengkap dengan dalilnya, meski itu tak menjamin bahwa Pak Ahmad mulai bermain-main dengan keyakinan yang dipeganginyaselama ini.
Dalam situasi seperti itu, kini Pak Ahmad mendapat info dari warga lain, dari radio, dari teve, tentang adanya acara akbar peringatan satu abad ormas yang selama ini dianggap sebagai rumahnya sendiri. Dia mendapat gambaran tentang tokoh-tokoh yang akan hadir, prediksi jumlah hadirin lengkap dengan hiburan artis ibu kota. Dan di tengah ketakjuban atas informasi tentang acara itu, dia tersandera antara tema ”mendigdayakanNahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju kebangkitan Baru” dan nostalgia dengan Kartanu yang kemudian diraihnya dari lipatan peci lusuhnya. (*)
*)Anggota Dewan Pengasuh PPA Latee Guluk-Guluk, Sumenep