22.7 C
Madura
Wednesday, March 22, 2023

Refleksi Satu Abad Nahdlatul Ulama (2)

Benteng bagi Indonesia

Oleh SYARIF HIDAYAT SANTOSO*

NU dan komponen Islam lainnya adalah benteng bagi Indonesia. Namun, titik poin NU menjadi sangat penting bahkan terpenting karena tiga hal. Demografi, ideologi, dan politik siyasahnya.

Pertama, secara demografi, NU memiliki basis massa di Pulau Jawa, utamanya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sisi demografis yang terkonsentrasi di sentral Indonesia inilah yang menyebabkan mengapa NU di masa lalu bisa menumpas komunis. PKI dan seluruh komponennya sama-sama memiliki basis yang besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sini yang bisa mengimbangi PKI hanyalah NU, sementara kekuatan politik Islam lain seperti Masyumi dan Syarikat Islam lemah di wilayah ini. Kekuatan politik lain seperti Nasionalis Marhaenis PNI tak mampu berbuat banyak ketika harus berada sekamar di era rezim Orde Lama.

Demografi Islam NU yang besar dan berporos di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini justru memiliki peran vital yang tak dimiliki ormas lainnya. Persebaran orang Jawa dan Madura yang merata di seluruh Indonesia, baik karena pergerakan mencari nafkah maupun karena transmigrasi, memudahkan NU mendirikan cabang di seluruh Indonesia bahkan dunia. Cabang-cabang NU berdiri di Sumatera Barat, Aceh, dan Papua berkat para pendatang Jawa.

Di Kalimantan, NU berkembang berkat orang Madura. Cabang-cabang istimewa NU di luar negeri pun terutama cabang-cabang yang bercita rasa pekerja migran tumbuh subur berkat para TKI Madura dan Jawa di negeri itu. Para santri dan pelajar NU juga berinisiatif mendirikan cabang di negara tempat mereka menuntut ilmu.

Hari ini, diaspora NU telah menjadi gejala nyata di dunia internasional. Adanya diaspora NU inilah yang kemudian memudahkan ajaran Islam Aswaja khas NU digemakan ke seluruh Indonesia dan dunia. Inilah berkah demografi itu. Meski hari ini, NU masih dikesankan Jawa-Madura-sentris, namun NU telah mampu merangkum beragam etnis dan golongan ke dalam organisasi ini. Beragam wajah suku sejak Tionghoa, Arab, Sunda, Betawi, Bugis, Flores, Aceh, Batak, Madura, Jawa, Banjar, Melayu, dan Sasak muncul dalam figur-figur pengurus PBNU.

Lobi internasional diaspora NU sedikit banyak membantu diplomasi people to people Indonesia di dunia internasional. Saat ini, kader-kader NU di luar negeri mampu melobi kelompok mana pun di negeri asing. Sedikitnya hal ini ikut membantu diplomasi government to government yang digerakkan Kementerian Luar Negeri. Secara tak langsung, NU ikut mendamaikan dunia Islam yang terbelah ke dalam blok-blok politik yang saling berhadapan. Lobi aktif kader NU di Timur Tengah, Afghanistan, dan kampanye Islam moderat di Eropa sedikit banyak membantu citra Indonesia sebagai negara muslim yang netral dan memegang teguh moralitas nonblok.

Baca Juga :  Dua Boys Wardah

Kedua, faktor ideologi. NU adalah ormas Islam yang memiliki ciri khas Islam wasathiyah yang memiliki keunggulan dalam hal sikapnya yang tidak memihak baik kepada ekstrem kiri maupun esktrem kanan. Islam wasathiyah juga tidak memusuhi negara secara overdosis manakala pemerintah negara tersebut zalim kepada umat. Islam wasathiyah juga mengakrabi kelompok lain agama namun tetap dalam batas akidah yang ketat. Di Indonesia, Islam wasathiyah ala NU ini mendukung program moderasi beragama namun dengan tidak menghapus ajaran jihad kitab-kitab kuning yang dikaji di pesantren.

Islam jalan tengah ini memiliki keunggulan geostrategi yaitu mampu mengerem membesarnya ekstrem kanan yang berbau agama maupun ekstrem kiri yang berbau sosialis. Kita tahu, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri memiliki kaitan dengan ideologi luar yang jika dibiarkan bisa memorak-porandakan Indonesia. Ekstrem kanan meski terkesan anti-Barat, tapi pada dasarnya identik dengan satelit Barat. Ekstrem kanan juga memiliki kaitan dengan kelompok liberal yang juga pro Barat, meski secara wacana dua kelompok ini sering bertikai dalam atmosfer keagamaan. Sementara ekstrem kiri berkaitan erat dengan sekulerisme dan ideologi sino-sentris yang dikembangkan untuk membendung Barat.

Kedua kelompok ini secara samar bertarung di media sosial dalam merebut simpati masyarakat Indonesia. Posisi NU yang bisa menengahi, menyebabkan pertarungan itu hanya menjadi pertarungan maya saja, bukan palagan di dunia nyata. Dalam perspektif geopolitik, Islam wasathiyah akan mampu berhadapan secara dinamis baik dengan the silk new road-nya Tiongkok maupun dengan imperium Pax Romanum-Americana kepunyaan Barat. Dalam ranah lokal, model Islam wasathiyah ini pernah diterapkan NU ketika kasus penistaan agama meledak. NU secara cerdik membagi peran tugas para ulamanya masing-masing. Ada yang mengeluarkan fatwa, namun ada juga yang berupaya meredam gejolak balasan dari nonmuslim dan nasionalis sekuler. Ada yang berada di barisan pengkritik, namun ada juga yang tetap mengayomi para pembela. Berkat pendekatan Islam wasathiyah, kasus itu tidak sampai merobek persatuan nasional.

Baca Juga :  Jurus Kancil Herman Dali Kusuma

Islam moderat ala NU tidak selamanya diam. Dia bergerak dinamis sesuai kondisi dan kebutuhan agama. Dalam kondisi damai, Islam wasathiyah sibuk berbicara moderasi beragama dan pada saat yang sama tetap mengkaji hadis jihad dan fikih jihad dalam bilik-bilik pesantren. Islam wasathiyah tidak kendor dalam putaran situasi yang bisa berubah setiap saat. Banyak yang menyangsikan, apakah NU bisa bertempur lagi seperti pada era Resolusi Jihad 1945 atau pada era penumpasan komunis. Jawabnya adalah iya. Meski kelihatan santun dan ramah, NU secara dadakan bisa tampil garang seperti era Revolusi dan era 1965. Bukankah karakter NU sudah disebutkan dengan isyarat tongkat Musa oleh Syaikhona Moh. Kholil. Tongkat yang memiliki dua fungsi. Yakni, fungsi pengayom ketika damai dan fungsi penghancur ketika darurat perang.

Ketiga, NU memiliki kemampuan politik siyasah yang luar biasa. Strategi politik yang dimainkan NU begitu lihai, cerdik, dan dadakan sehingga pihak lawan tak mampu menyadarinya. Politik siyasah yang lihai ini ternyata terkait dengan faktor yang sangat penting yang tak dimiliki kelompok Islam lainnya yaitu aspek kestabilan emosi. Para ulama NU terkesan tak emosional, tak terburu-buru, mampu bersabar dalam jangka waktu lama dalam menjalankan gerakan politiknya. Model gerak politik NU ini menyebabkan banyaknya cacian terhadap NU dan para kiainya. Contoh, kesabaran NU ketika bermain dalam politik Nasakom di era Orde Lama yang justru berbuah manis dengan tertumpasnya komunis dan tergulingnya Soekarno secara konstitusional tanpa harus melibas kelompok nasionalis sekuler. Ketika NU bergabung dengan Nasakom yang sebenarnya untuk melawan komunis dari dalam dan melindungi Bung Karno dari pengaruh PKI, NU dicaci terutama oleh kelompok Masyumi yang baru saja dibubarkan. Tapi, kiai-kiai NU mampu bersabar dan tak terpancing oleh narasi kelompok Islam yang lain. Sebab, jika terpancing, siasat ini akan gagal total di tengah jalan. (*)

*)Warga NU Sumenep, alumnus Hubungan Internasional FISIP Unej.

 

Oleh SYARIF HIDAYAT SANTOSO*

NU dan komponen Islam lainnya adalah benteng bagi Indonesia. Namun, titik poin NU menjadi sangat penting bahkan terpenting karena tiga hal. Demografi, ideologi, dan politik siyasahnya.

Pertama, secara demografi, NU memiliki basis massa di Pulau Jawa, utamanya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sisi demografis yang terkonsentrasi di sentral Indonesia inilah yang menyebabkan mengapa NU di masa lalu bisa menumpas komunis. PKI dan seluruh komponennya sama-sama memiliki basis yang besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sini yang bisa mengimbangi PKI hanyalah NU, sementara kekuatan politik Islam lain seperti Masyumi dan Syarikat Islam lemah di wilayah ini. Kekuatan politik lain seperti Nasionalis Marhaenis PNI tak mampu berbuat banyak ketika harus berada sekamar di era rezim Orde Lama.


Demografi Islam NU yang besar dan berporos di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini justru memiliki peran vital yang tak dimiliki ormas lainnya. Persebaran orang Jawa dan Madura yang merata di seluruh Indonesia, baik karena pergerakan mencari nafkah maupun karena transmigrasi, memudahkan NU mendirikan cabang di seluruh Indonesia bahkan dunia. Cabang-cabang NU berdiri di Sumatera Barat, Aceh, dan Papua berkat para pendatang Jawa.

Di Kalimantan, NU berkembang berkat orang Madura. Cabang-cabang istimewa NU di luar negeri pun terutama cabang-cabang yang bercita rasa pekerja migran tumbuh subur berkat para TKI Madura dan Jawa di negeri itu. Para santri dan pelajar NU juga berinisiatif mendirikan cabang di negara tempat mereka menuntut ilmu.

Hari ini, diaspora NU telah menjadi gejala nyata di dunia internasional. Adanya diaspora NU inilah yang kemudian memudahkan ajaran Islam Aswaja khas NU digemakan ke seluruh Indonesia dan dunia. Inilah berkah demografi itu. Meski hari ini, NU masih dikesankan Jawa-Madura-sentris, namun NU telah mampu merangkum beragam etnis dan golongan ke dalam organisasi ini. Beragam wajah suku sejak Tionghoa, Arab, Sunda, Betawi, Bugis, Flores, Aceh, Batak, Madura, Jawa, Banjar, Melayu, dan Sasak muncul dalam figur-figur pengurus PBNU.

Lobi internasional diaspora NU sedikit banyak membantu diplomasi people to people Indonesia di dunia internasional. Saat ini, kader-kader NU di luar negeri mampu melobi kelompok mana pun di negeri asing. Sedikitnya hal ini ikut membantu diplomasi government to government yang digerakkan Kementerian Luar Negeri. Secara tak langsung, NU ikut mendamaikan dunia Islam yang terbelah ke dalam blok-blok politik yang saling berhadapan. Lobi aktif kader NU di Timur Tengah, Afghanistan, dan kampanye Islam moderat di Eropa sedikit banyak membantu citra Indonesia sebagai negara muslim yang netral dan memegang teguh moralitas nonblok.

Baca Juga :  Catatan Sang Kiai
- Advertisement -

Kedua, faktor ideologi. NU adalah ormas Islam yang memiliki ciri khas Islam wasathiyah yang memiliki keunggulan dalam hal sikapnya yang tidak memihak baik kepada ekstrem kiri maupun esktrem kanan. Islam wasathiyah juga tidak memusuhi negara secara overdosis manakala pemerintah negara tersebut zalim kepada umat. Islam wasathiyah juga mengakrabi kelompok lain agama namun tetap dalam batas akidah yang ketat. Di Indonesia, Islam wasathiyah ala NU ini mendukung program moderasi beragama namun dengan tidak menghapus ajaran jihad kitab-kitab kuning yang dikaji di pesantren.

Islam jalan tengah ini memiliki keunggulan geostrategi yaitu mampu mengerem membesarnya ekstrem kanan yang berbau agama maupun ekstrem kiri yang berbau sosialis. Kita tahu, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri memiliki kaitan dengan ideologi luar yang jika dibiarkan bisa memorak-porandakan Indonesia. Ekstrem kanan meski terkesan anti-Barat, tapi pada dasarnya identik dengan satelit Barat. Ekstrem kanan juga memiliki kaitan dengan kelompok liberal yang juga pro Barat, meski secara wacana dua kelompok ini sering bertikai dalam atmosfer keagamaan. Sementara ekstrem kiri berkaitan erat dengan sekulerisme dan ideologi sino-sentris yang dikembangkan untuk membendung Barat.

Kedua kelompok ini secara samar bertarung di media sosial dalam merebut simpati masyarakat Indonesia. Posisi NU yang bisa menengahi, menyebabkan pertarungan itu hanya menjadi pertarungan maya saja, bukan palagan di dunia nyata. Dalam perspektif geopolitik, Islam wasathiyah akan mampu berhadapan secara dinamis baik dengan the silk new road-nya Tiongkok maupun dengan imperium Pax Romanum-Americana kepunyaan Barat. Dalam ranah lokal, model Islam wasathiyah ini pernah diterapkan NU ketika kasus penistaan agama meledak. NU secara cerdik membagi peran tugas para ulamanya masing-masing. Ada yang mengeluarkan fatwa, namun ada juga yang berupaya meredam gejolak balasan dari nonmuslim dan nasionalis sekuler. Ada yang berada di barisan pengkritik, namun ada juga yang tetap mengayomi para pembela. Berkat pendekatan Islam wasathiyah, kasus itu tidak sampai merobek persatuan nasional.

Baca Juga :  Nafas Panjang 90 Hari

Islam moderat ala NU tidak selamanya diam. Dia bergerak dinamis sesuai kondisi dan kebutuhan agama. Dalam kondisi damai, Islam wasathiyah sibuk berbicara moderasi beragama dan pada saat yang sama tetap mengkaji hadis jihad dan fikih jihad dalam bilik-bilik pesantren. Islam wasathiyah tidak kendor dalam putaran situasi yang bisa berubah setiap saat. Banyak yang menyangsikan, apakah NU bisa bertempur lagi seperti pada era Resolusi Jihad 1945 atau pada era penumpasan komunis. Jawabnya adalah iya. Meski kelihatan santun dan ramah, NU secara dadakan bisa tampil garang seperti era Revolusi dan era 1965. Bukankah karakter NU sudah disebutkan dengan isyarat tongkat Musa oleh Syaikhona Moh. Kholil. Tongkat yang memiliki dua fungsi. Yakni, fungsi pengayom ketika damai dan fungsi penghancur ketika darurat perang.

Ketiga, NU memiliki kemampuan politik siyasah yang luar biasa. Strategi politik yang dimainkan NU begitu lihai, cerdik, dan dadakan sehingga pihak lawan tak mampu menyadarinya. Politik siyasah yang lihai ini ternyata terkait dengan faktor yang sangat penting yang tak dimiliki kelompok Islam lainnya yaitu aspek kestabilan emosi. Para ulama NU terkesan tak emosional, tak terburu-buru, mampu bersabar dalam jangka waktu lama dalam menjalankan gerakan politiknya. Model gerak politik NU ini menyebabkan banyaknya cacian terhadap NU dan para kiainya. Contoh, kesabaran NU ketika bermain dalam politik Nasakom di era Orde Lama yang justru berbuah manis dengan tertumpasnya komunis dan tergulingnya Soekarno secara konstitusional tanpa harus melibas kelompok nasionalis sekuler. Ketika NU bergabung dengan Nasakom yang sebenarnya untuk melawan komunis dari dalam dan melindungi Bung Karno dari pengaruh PKI, NU dicaci terutama oleh kelompok Masyumi yang baru saja dibubarkan. Tapi, kiai-kiai NU mampu bersabar dan tak terpancing oleh narasi kelompok Islam yang lain. Sebab, jika terpancing, siasat ini akan gagal total di tengah jalan. (*)

*)Warga NU Sumenep, alumnus Hubungan Internasional FISIP Unej.

 

Artikel Terkait

Kepada Ipin

Belajar Meramal

Childfree dalam Kosmologi Madura

Menganaktirikan Pantura Madura

Most Read

Bupati Ra Latif Kukuhkan Paskibraka

Pasien Ke-41 Belum Terlacak

BLT DBHCHT Terancam Hangus

Dandim Siap Amankan Pilkada

Artikel Terbaru

/