Oleh ABD. MUNIB*
SPERMA belum sepenuhnya purna jadi manusia. Sebab, usia kandungan masih cukup belia. Sedangkan nama sudah disiapkan oleh –calon– orang tua. Persiapan macam ini tampak menjadi budaya sekaligus tren baru di negeri Indonesia. Buktinya, jauh sebelum bayi dilahirkan, kalangan selebriti telah memperkenalkan dan menyiapkan nama untuk calon bayi kendati kerap disederhanakan dengan inisial.
Tentu saja, persiapan macam ini tidak salah. Tetapi, perlu perencanaan dan pemahaman mendalam tentang pemberian nama warga Indonesia ke depan. Apalagi negeri kita sedang digegerkan dengan campur-tangan negara yang mengatur nama warganya melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022. Sebuah aturan yang telah diberlakukan sejak 21 April pada tahun yang sama.
Negara Indonesia tengah berupaya mendikte warganya agar jangan sampai nama yang dipersiapkan untuk sang buah hati tidak mengangkangi peraturan yang telah ditetapkan sebagaimana diatur Permendagri 73/2022. Bila nama tidak selaras dengan aturan tersebut, negara dengan gampang berdalih bahwa orang tua ”melegitimasi” anak melacuri aturan sejak dari namanya.
Apalagi, Permendagri 73/2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan yang ditandatangani oleh Muhammad Tito Karnavian dalam pertimbangannya mengklaim dapat memberi perlindungan. Lebih dari itu, aturan ini dapat mempermulus pemenuhan hak konstitusional serta tertib administrasi kependudukan. Selanjutnya, aturan ini diakuisisi sebagai pedoman bagi penduduk dan pejabat berwenang melakukan pencatatan guna memudahkan pelayanan publik.
Sepintas, saya setuju tentang pertimbangan yang berbunyi memudahkan atau mempermudah pelayanan publik. Tetapi, apabila dikaitkan dengan fenomena yang terjadi –sebelum lahir Permendagri 73/2022– sepertinya nama pada dokumen kependudukan tidak pernah menjadi sandungan perihal penerimaan layanan. Dengan kata lain, tidak pernah muncul tragedi yang dipicu oleh nama pada dokumen kependudukan.
Memang betul bahwa imigrasi kerap menolak nama yang hanya satu kata pada dokumen kependudukan. Tetapi, hal macam ini cukup mudah diatasi dengan menggunakan atau menambah dengan nama keluarga. Oleh karenan itu, landasan untuk mempermudah pelayanan publik dengan menerbitkan Permendagri 73/2022 cukup tidak kuat –jika enggan disebut alibi semata. Apalagi, setiap nama pada dokumen kependudukan disertai dengan nomor identitas kependudukan (NIK) yang berbeda-beda.
Peraturan tetaplah peraturan tanpa terkecuali Permendagri 73/2022 yang harus ditaati oleh seluruh warga Indonesia. Namun, dengan asumsi yang cenderung kekanak-kanakan ini, bisa dipastikan bahwa aturan tentang pencatatan nama pada dokumen kependudukan ini cukup sulit dipatuhi.
Misal, Permendagri 73/2022 pasal 5 ayat 1 huruf a yang berbunyi, ”Nama menggunakan huruf latin sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.” Kita tahu betul bahwa minat masyarakat kita akhir-akhir ini cenderung meletakkan dua huruf vokal sekaligus pada nama seperti nama Mendikbudristek Nadiem Makarim. Huruf vokal i dan e bersebelahan. Apabila Anda mau menelusuri kata Nadiem dalam Bahasa Indonesia pasti tidak akan menemukannya, sebab yang selaras dengan kaidah Bahasa Indonesia berbunyi Nadim.
Selanjutnya, pada pasal 4 ayat 2 huruf a berbunyi, ”Nama mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir.” Indonesia terdiri dari beragam suku dengan bahasanya masing-masing adalah kenyataan yang tak bisa disangkal kebenarannya. Padahal, kata bermakna postif bagi daerah tertentu justru berkonotasi negatif bagi daerah lainnya. Artinya, multitafsir terhadap kata merupakan keniscayaan yang cukup sulit dinafikan keberadaannya.
Problem yang berpotensi muncul adalah kebingungan. Bagaimana tidak, sejak Permendagri 73/2022 ditetapkan, ternyata tidak jelas siapa yang memiliki hak prerogatif menentukan sebuah nama bermakna negatif atau positif. Kendati ditetapkan penentu makna negatif pada nama, alih-alih diterima justru kutuk-mengutuk kian merajalela lantaran saling klaim makna. Tidak berlebihan apabila sejumlah orang berpendapat bahwa sekalipun ditetapkan, permendagri ini tidak akan ditaati.
Dengan demikian, jangan sampai hanya karena terdengar asing sebuah nama dilegitimasi sebagai nama bermakna negatif. Sejarah membuktikan bahwa Muhammad adalah nama yang sangat asing bagi kalangan masyarakat jahiliah dahulu. Tetapi, salah satu pembesar orang Quraisy, Abdul Muthalib, memilih nama tersebut untuk dijadikan nama cucunya. Selaras dengan nama sang cucu, Muhammad, jadilah beliau manuisia mulia. Kita menyebutnya Nabi Muhammad SAW.
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam paling memberi perhatian soal nama. Buktinya, Islam menganjurkan agar dalam memberikan nama sebaiknya mengandung pujian sebagaimana makna Muhammad. Bukan hanya soal nama, dalam panggil-memanggil pun Islam sudah mengaturnya. ”Jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan,” (QS. al-Hujurat: 11). (*)
*)Penulis buku Daya Tipu Tampilan Luar