Oleh SYARIF HIDAYAT SANTOSO*
Apakah NU sebagai sebuah ormas keagamaan begitu penting di abad ini dalam hubungannya dengan geopolitik Indonesia? Tulisan singkat ini akan membahas secara sederhana bagaimana NU dan kaitannya dengan geopolitik Indonesia kontemporer.
SEBAGAIMANA yang kita pahami, posisi politik internasional telah mengalami pergeseran. Pergeseran yang sangat ambisius sehingga jantung gerakan politik internasional tak lagi terkonsentrasi di Heartland (Timur Tengah) yang kaya minyak, tapi telah melaju dengan dinamikanya sendiri ke Asia Pasifik. Teori geopolitik internasional terbaru menyebut kawasan ini dengan istilah Indo-Pasifik yang merupakan gabungan dari kata Indian Ocean (Samudra Hindia) dan Pasific Ocean (Samudra Pasifik). Konsekuensi dari istilah Indo-Pasifik ini menyebabkan Amerika, India, Australia termasuk Selandia Baru, Tiongkok, dan Asia Timur termasuk Jepang, Korea, dan Taiwan, Afrika Timur termasuk Somalia, Indonesia dan Asia Tenggara menjadi tercakup sekaligus memperlihatkan timbulnya kepentingan beragam negara.
Pergeseran posisi strategis ini ditandai dengan munculnya kekuatan spektakuler Tiongkok, baik dalam militer, ekonomi, maupun politik. Politik ekonomi Jalan Sutra Tiongkok tidak hanya menembak rute strategis di Asia Tengah kemudian Eropa, tapi juga jalur kuno Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan tidak hanya memiliki signifikansi strategis global bagi negara Asia,tapi juga negara barat. Laut Cina Selatan bukan hanya sebuah maritim yang tunggal. Keberadaan Laut Cina Selatan terkoneksi erat dengan beberapa wilayah perairan Indonesia lainnya, yaitu Selat Sunda, Selat Lombok, pantai barat Sumatra, dan Selat Malaka. Kebangkitan Tiongkok menyebabkan gejala security dilema sehingga banyak merasa terancam dengan kemajuan teknologi termasuk teknologi militer serta politik investasi Tiongkok yang hebat itu.
Di sisi lain, kondisi politik Asia Tenggara, tempat Indonesia berada di dalamnya, juga mengalami pola Balkan of the east. Teror antar etnis dan agama menyeruak sejak lama di Myanmar, Thailand Selatan, dan Mindanao Filipina. Sementara gerakan teroris seperti ISIS muncul beberapa saat lalu di Marawi, Filipina. Di wilayah Pasifik yang sangat penting ini, Indonesia tidak hanya berbatasan dengan beberapa negara Asia Tenggara sejak Malaysia sampai Timor Leste, tapi juga berbatasan dengan negara non Asia Tenggara seperti India, Australia, Tiongkok, Palau, dan Papua Nugini. Tiongkok, India, dan Australia adalah negara-negara besar yang sadar akan posisi Indonesia yang sangat penting secara ekonomi-politik-militer itu. Tiongkok mendudukkan Indonesia dalam jalur sutra maritim yang menyebabkan ketegangan dengan blok barat.
Baik Cina maupun Amerika Blok Barat mulai berpikir untuk mencari negara lain dengan sumber daya alam lain yang lebih tenteram. Rakyatnya ramah dan berpotensi tidak melakukan perlawanan militer. Bumi yang lokasinya sangat strategis, demografi yang ramah, santun, serta melimpah kekayaan alamnya tiada lain adalah Indonesia. Ya, Indonesia adalah tanah yang menggiurkan karena posisinya terletak antara dua samudra. Bagi Tiongkok, Selat Sunda Indonesia begitu menggiurkan sebagai sarana lalu lintas baru apabila Selat Malaka yang lebih didominasi Singapura yang pro Barat terhambat, apalagi jika rencana Terusan Tanah Genting Kra gagal terwujud. Selat Sunda dan pantai barat Sumatra juga penting bagi strategi pembendungan militer di masa depan. Kekayaan alam untuk energi juga melimpah di bumi Indonesia, di mana Tiongkok sangat membutuhkannya. Selat Lombok juga jalan pintas strategis bagi Tiongkok dalam relasinya dengan Australia.
Geopolitik Indonesia menjadi terguncang. Meski model politik internasional telah berubah wajah menjadi multipolar, aura bipolarisme pertarungan Cina versus Amerika terasa sekali di regional ini. Indonesia menjadi rebutan antara negara Barat dengan kampiun tertingginya Amerika melawan negara-negara Timur dengan kaisar tertingginya adalah Tiongkok. Amerika yang akrab dengan negara satelitnya seperti Arab Saudi yang Wahabi maupun Cina yang memiliki mitra strategis Rusia dan negara satelitnya yaitu Iran yang Syiah.
Pertarungan Wahabi melawan Syiah di banyak negara merupakan model baru penghancuran tatanan lokal oleh kepentingan asing tersebut. Adu domba suni (yang terprovokasi Wahabi) versus Syiah (yang terprovokasi aliansi Iran-Cina-Rusia) jamak kita jumpai sejak Iraq, Suriah, Yaman, Afghanistan, Pakistan, dan belahan Islam lainnya. Pertempuran internasional yang terjadi di bumi Timur Tengah ini pada gilirannya menyebabkan hasrat menguasai sumber daya alam minyak Timur Tengah menjadi terganggu. Eksplorasi kekayaan alam besar-besaran menjadi terhambat akibat perang berkepanjangan dan perlawanan gerilyawan yang tak habis-habisnya.
Konflik antaraliran Islam yang berbungkus tema radikalisme versus moderatisme muncul dengan spektakuler di Nusantara. Aliran Salafi Wahabi dan beragam variannya muncul sporadis di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Madura. Begitu pun aliran lawannya yaitu Syiah, juga muncul sporadis di Madura, bahkan pernah menjadi konflik yang menjadi pemberitaan nasional. Posisi Indonesia dan umat Islam yang besar menjadi center of gravity di Asia Pasifik pasca bangkitnya multipolar Asia dan Barat hari ini.
NU yang dibangun awalnya di Madura menjadi penting karena sejak awal didirikan peran internasionalnya telah mengemuka sebelum peran nasionalnya. Berawal dari Komite Hijaz sebagai titik balik Komite Khilafah yang gagal, NU tidak saja memperjuangkan apa yang disebut dengan pertahanan Aswaja, namun juga kapasitasnya dalam membendung satelit-satelit Barat yang terjelma dalam beragam pemikiran kontra aswaja tersebut. Titik tolak perlawanan NU terhadap beragam aliran sesat internasional sejak Syiah, Wahabi, dan Islam Liberal ternyata tak hanya berkaitan dengan akidah atau amaliah suni tradisional yang diserang bertubi-tubi. Secara pasti, NU hari ini paham bahwa di belakang beragam aliran yang dianggap sesat itu berdiri dengan sangat rapi kepentingan asing yang mendanai dan mendukungnya secara terselubung. NU telah diseret ke dalam perang proxy yang hebat. (*)
*)Warga NU Sumenep, alumnus Hubungan Internasional FISIP Unej