22.6 C
Madura
Tuesday, June 6, 2023

Catatan Sang Kiai

SECARA pemahaman umum, gelar kiai identik dengan orang yang memiliki ilmu (agama) yang yang luas. Karena kemampuannya itu, dalam sistem sosial ia berada pada strata yang khusus  dan terhormat, sehingga kiai memiliki kesempatan yang luas untuk mengejawantahkan perannya dalam banyak bidang dan menggunakan kapabilitasnya untuk membantu mengatasi problematika yang dihadapi masyarakat.  

Peran kiai dalam bidang pendidikan (keagamaan) dapat disebut sebagai peran utamanya, dan sejak jaman dulu banyak kiai yang mengembara dari daerah asalnya dan menetap di tempat baru demi misi dakwah pendidikan dengan pilihan sarana sesuai kemampuan dan kebutuhan masyarakat setempat, mulai dari membentuk kompolan pengajian saja, mengelola madrasah hingga mendirikan pondok pesantren yang merupakan salah satu sarana favorit pilihan  mayoritas kiai untuk pengejawantahan perannya, karena disitulah mereka memiliki kesempatan yang leluasa untuk mengajarkan dan mempraktikkan ilmu agama yang dimiliki.

Sebagai bukti, kini bisa disaksikan ada ribuan pesantren yang berdiri di nusantara, yang pada sisi lain ini sekaligus membuktikan tingginya tingkat kepercayaan dan apresiasi masyarakat kepada peran kiai dalam bidang pendidikan. Bahkan kini mulai ada tren baru, kalangan yang tidak memiliki latar belakang pesantren, kaum urban, juga tertarik mengirimkan putra-putrinya ke pesantren untuk nyantri, sebuah fenomena yang menunjukkan makin meluasnya penerimaan masyarakat luas atas pendidikan model pesantren.

Bidang politik adalah ajang lain dari pengejawantahan peran kiai yang menarik dicermati karena dinamikanya tinggi. Sebagai pelengkap ilustrasi, di era Orde Baru, era yang masih tidak terlalu lama berlalu, peran politik kiai -melalui sebuah parpol yang dianggap representasi wadah politik umat Islam waktu itu- mendapat dukungan energi besar dari masyarakat yang ingin berada dalam satu barisan ideologis karena merasa memiliki musuh bersama berupa sebuah partai yang menjadi perpanjangan tangan penguasa, dan sama-sama merasa menjadi korban dari kekuasaan yang represif. Sehingga -dalam batas tertentu-  kiai mampu memerankan diri sebagai penggerak aktivitas politik oposisi dan menjadi kiblat berpolitik bagi masyarakat. Apalagi ketika itu bukanlah hal yang asing kiai diinterogasi dan ditahan oleh penguasa akibat afiliasi politiknya sehingga makin menumbuhkan sikap militan masyarakat dalam berjuang bersama para kiai.

Baca Juga :  Spirit Ketauhidan dalam Pendidikan Keluarga

Sedangkan era Reformasi, sebagai pijakan dimulainya demokratisasi yang salah satu tandanya adalah dibukanya kran kebebasan bagi warga negara untuk mendirikan partai politik, membuka ruang dan kesempatan luas bagi siapapun untuk menggunakan hak politiknya. Tak terkecuali bagi para kiai, baik yang sebelumnya sudah aktif berpolitik atau ’pemain baru’, yang menggunakan kesempatan itu untuk berpartisipasi baik sebagai pengurus parpol, calon anggota legislatif, calon eksekutif maupun hanya sebagai simpatisan yang semuanya kini tidak lagi berada dalam satu barisan yang sama karena berada pada partai yang berbeda-beda.

Masyarakat, menyikapi beraneka ragamnya afiliasi politik kiainya, akhirnya menjadi terbelah juga. Ada masyarakat yang tetap tunduk dan ikut garis perjuangan kiainya di partai yang sama. Mereka ini adalah tipe sam’an wa tha’atan sepenuh hati kepada kiainya dalam urusan apapun. Ada pula masyarakat yang dalam urusan politik mengambil sikap berbeda dengan (partai) kiainya sementara untuk urusan lain mereka tetap berguru. Status seseorang sebagai alumni dari suatu pesantren tempat mereka dulu nyantri juga kadang memiliki korelasi kuat dalam hal kesamaan afiliasi politik dengan kiainya.

Bidang sosial kemasyarakatan adalah media interaksi paling intensif antara kiai dan masyarakat. Sifat relasinya pun variatif bergantung pada motif dan kepentingannya. Ada saatnya seperti hubungan guru dan murid, di saat yang lain seolah hubungan ayah dan anak, sehingga untuk solusi beberapa urusan yang dihadapi masyarakat, kiai berada dalam prioritas pertama yang akan ditemui. Tetapi seiring perkembangan zaman, peran kuat kiai dan relasi harmonis kiai – masyarakat dalam hal tertentu lambat laun mulai terkikis, sehingga bagi sebagian masyarakat mengabaikan dawuh dan pendapat kiai akhirnya tak lagi menjadi hal yang tabu.

Baca Juga :  Media Inspirasi Calon Jurnalis

Salah satu peristiwa aktual yang bisa dikaitkan dengan makin melemahnya relasi tersebut adalah langkah yang diambil mayoritas kiai -yang diterapkan di pesantrennya- dalam menyikapi wabah Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai standar pemerintah. Pemberlakuan prosedur ketat masuk-keluar pesantren, physical distancing  yang membatasi silaturrahmi masyarakat dengan kiai dan protokol lainnya justru direspons negatif oleh sebagian masyarakat. Bahkan ada yang secara terang-terangan menunjukkan sikap membangkang dengan bahasa tak beradab.

Sebuah ikhtiar menjaga kemaslahatan bersama tapi direspons negatif, ini menjadi fenomena menarik dan mendapat perhatian dari beberapa kalangan dengan mengajukan asumsi terkait memburuknya relasi tersebut. Maka munculah asumsi bahwa sebagian masyarakat tersebut sejak awal memang telah memiliki sikap antipati terhadap pemerintah sehingga ketika ada pihak yang mengambil sikap sejalan dengan pemerintah maka akan dianggap sama secara apriori, bahwa mereka tidak memiliki informasi dan pemahaman utuh tentang wabah akibat rendahnya literasi informasi, bahwa mereka terpengaruh provokasi tokoh yang mengambil sikap melawan arus umum secara agitatif, bahwa faktor buruknya akhlak tak bisa dikesampingkan pula.

Meskipun semua asumsi itu barulah berupa postulat yang butuh pembuktian lebih lanjut untuk menegakkan kesimpulan akhir, namun tetaplah proporsional untuk mengajukan hipotesis awal bahwa saat ini sedang terjadi perubahan persepsi sebagian masyarakat terkait apresiasi dan relasinya dengan kiai.

Walhasil, harus pula diakui bahwa peran kiai di masa kini dan mendatang menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Permasalahan di masyarakat akan jauh lebih kompleks seiring makin majunya peradaban manusia, sehingga dibutuhkan rekonstruksi pendekatan yang akseptabel jika peran dan relasi yang sudah terbangun tak ingin mengalami disrupsi. 

 

*)Ketua DP PAC IKAPMII Guluk-Guluk.

SECARA pemahaman umum, gelar kiai identik dengan orang yang memiliki ilmu (agama) yang yang luas. Karena kemampuannya itu, dalam sistem sosial ia berada pada strata yang khusus  dan terhormat, sehingga kiai memiliki kesempatan yang luas untuk mengejawantahkan perannya dalam banyak bidang dan menggunakan kapabilitasnya untuk membantu mengatasi problematika yang dihadapi masyarakat.  

Peran kiai dalam bidang pendidikan (keagamaan) dapat disebut sebagai peran utamanya, dan sejak jaman dulu banyak kiai yang mengembara dari daerah asalnya dan menetap di tempat baru demi misi dakwah pendidikan dengan pilihan sarana sesuai kemampuan dan kebutuhan masyarakat setempat, mulai dari membentuk kompolan pengajian saja, mengelola madrasah hingga mendirikan pondok pesantren yang merupakan salah satu sarana favorit pilihan  mayoritas kiai untuk pengejawantahan perannya, karena disitulah mereka memiliki kesempatan yang leluasa untuk mengajarkan dan mempraktikkan ilmu agama yang dimiliki.

Sebagai bukti, kini bisa disaksikan ada ribuan pesantren yang berdiri di nusantara, yang pada sisi lain ini sekaligus membuktikan tingginya tingkat kepercayaan dan apresiasi masyarakat kepada peran kiai dalam bidang pendidikan. Bahkan kini mulai ada tren baru, kalangan yang tidak memiliki latar belakang pesantren, kaum urban, juga tertarik mengirimkan putra-putrinya ke pesantren untuk nyantri, sebuah fenomena yang menunjukkan makin meluasnya penerimaan masyarakat luas atas pendidikan model pesantren.


Bidang politik adalah ajang lain dari pengejawantahan peran kiai yang menarik dicermati karena dinamikanya tinggi. Sebagai pelengkap ilustrasi, di era Orde Baru, era yang masih tidak terlalu lama berlalu, peran politik kiai -melalui sebuah parpol yang dianggap representasi wadah politik umat Islam waktu itu- mendapat dukungan energi besar dari masyarakat yang ingin berada dalam satu barisan ideologis karena merasa memiliki musuh bersama berupa sebuah partai yang menjadi perpanjangan tangan penguasa, dan sama-sama merasa menjadi korban dari kekuasaan yang represif. Sehingga -dalam batas tertentu-  kiai mampu memerankan diri sebagai penggerak aktivitas politik oposisi dan menjadi kiblat berpolitik bagi masyarakat. Apalagi ketika itu bukanlah hal yang asing kiai diinterogasi dan ditahan oleh penguasa akibat afiliasi politiknya sehingga makin menumbuhkan sikap militan masyarakat dalam berjuang bersama para kiai.

Baca Juga :  Media Inspirasi Calon Jurnalis

Sedangkan era Reformasi, sebagai pijakan dimulainya demokratisasi yang salah satu tandanya adalah dibukanya kran kebebasan bagi warga negara untuk mendirikan partai politik, membuka ruang dan kesempatan luas bagi siapapun untuk menggunakan hak politiknya. Tak terkecuali bagi para kiai, baik yang sebelumnya sudah aktif berpolitik atau ’pemain baru’, yang menggunakan kesempatan itu untuk berpartisipasi baik sebagai pengurus parpol, calon anggota legislatif, calon eksekutif maupun hanya sebagai simpatisan yang semuanya kini tidak lagi berada dalam satu barisan yang sama karena berada pada partai yang berbeda-beda.

Masyarakat, menyikapi beraneka ragamnya afiliasi politik kiainya, akhirnya menjadi terbelah juga. Ada masyarakat yang tetap tunduk dan ikut garis perjuangan kiainya di partai yang sama. Mereka ini adalah tipe sam’an wa tha’atan sepenuh hati kepada kiainya dalam urusan apapun. Ada pula masyarakat yang dalam urusan politik mengambil sikap berbeda dengan (partai) kiainya sementara untuk urusan lain mereka tetap berguru. Status seseorang sebagai alumni dari suatu pesantren tempat mereka dulu nyantri juga kadang memiliki korelasi kuat dalam hal kesamaan afiliasi politik dengan kiainya.

Bidang sosial kemasyarakatan adalah media interaksi paling intensif antara kiai dan masyarakat. Sifat relasinya pun variatif bergantung pada motif dan kepentingannya. Ada saatnya seperti hubungan guru dan murid, di saat yang lain seolah hubungan ayah dan anak, sehingga untuk solusi beberapa urusan yang dihadapi masyarakat, kiai berada dalam prioritas pertama yang akan ditemui. Tetapi seiring perkembangan zaman, peran kuat kiai dan relasi harmonis kiai – masyarakat dalam hal tertentu lambat laun mulai terkikis, sehingga bagi sebagian masyarakat mengabaikan dawuh dan pendapat kiai akhirnya tak lagi menjadi hal yang tabu.

- Advertisement -
Baca Juga :  Belajar Meramal

Salah satu peristiwa aktual yang bisa dikaitkan dengan makin melemahnya relasi tersebut adalah langkah yang diambil mayoritas kiai -yang diterapkan di pesantrennya- dalam menyikapi wabah Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai standar pemerintah. Pemberlakuan prosedur ketat masuk-keluar pesantren, physical distancing  yang membatasi silaturrahmi masyarakat dengan kiai dan protokol lainnya justru direspons negatif oleh sebagian masyarakat. Bahkan ada yang secara terang-terangan menunjukkan sikap membangkang dengan bahasa tak beradab.

Sebuah ikhtiar menjaga kemaslahatan bersama tapi direspons negatif, ini menjadi fenomena menarik dan mendapat perhatian dari beberapa kalangan dengan mengajukan asumsi terkait memburuknya relasi tersebut. Maka munculah asumsi bahwa sebagian masyarakat tersebut sejak awal memang telah memiliki sikap antipati terhadap pemerintah sehingga ketika ada pihak yang mengambil sikap sejalan dengan pemerintah maka akan dianggap sama secara apriori, bahwa mereka tidak memiliki informasi dan pemahaman utuh tentang wabah akibat rendahnya literasi informasi, bahwa mereka terpengaruh provokasi tokoh yang mengambil sikap melawan arus umum secara agitatif, bahwa faktor buruknya akhlak tak bisa dikesampingkan pula.

Meskipun semua asumsi itu barulah berupa postulat yang butuh pembuktian lebih lanjut untuk menegakkan kesimpulan akhir, namun tetaplah proporsional untuk mengajukan hipotesis awal bahwa saat ini sedang terjadi perubahan persepsi sebagian masyarakat terkait apresiasi dan relasinya dengan kiai.

Walhasil, harus pula diakui bahwa peran kiai di masa kini dan mendatang menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dari sebelumnya. Permasalahan di masyarakat akan jauh lebih kompleks seiring makin majunya peradaban manusia, sehingga dibutuhkan rekonstruksi pendekatan yang akseptabel jika peran dan relasi yang sudah terbangun tak ingin mengalami disrupsi. 

 

*)Ketua DP PAC IKAPMII Guluk-Guluk.

Artikel Terkait

Lapangkan Jalan Pulang

Baju Baru, Ujub dan Korupsi

Lebaran

Most Read

Artikel Terbaru

/