Oleh Dafir Falah*
Mari sejenak kita merenung. Merenung tentang apa saja. Saya kira itu bagus sebagai kontemplasi. Sebab, merenung adalah aktivitas berpikir paling dalam. Termasuk, merenung mengenai wacana reaktivasi kereta api di Madura. Wow….
————————————
SAYA jadi ingat peramal berkebangsaan Bulgaria. Dia adalah Baba Vanga. Baba Vanga adalah seorang peramal dunia yang meninggal pada 1996 silam. Ahli mistik bernama lengkap Vangela Pandeva Dimitrova itu memiliki daftar ramalan tentang masa depan hingga abad ke- 51.
Setiap pergantian tahun, dia selalu dicari banyak orang. Terutama, ketika dia sedang meramal sesuatu. Sebagian besar ramalannya terjadi dan nyata. Entah itu kebetulan, wallahualam.
Baba Vanga hanyalah peramal. Baba Vanga bukan Tuhan. Tidak lantas setiap ramalan Baba Vanga jitu.
Tapi yang jelas, beberapa ramalannya kerap kali tidak meleset. Di antara sekian banyak ramalan Baba Vanga, salah satunya dia pernah meramal bahwa manusia akan terpaku pada layar.
Kita lihat sekarang, ramalan itu tentu ada benarnya. Sebab, di era yang serbadigital, hampir setiap hari kita berada di depan layar, ya kan?
Tapi, lupakanlah soal ramalan Baba Vanga. Sekarang yang menarik dibicarakan adalah wacana reaktivasi kereta api di Madura.
Sayangnya, saya tidak sehebat Baba Vanga dalam urusan ramal-meramal. Hanya, saya berkeyakinan bahwa wacana kereta api di Madura sulit diwujudkan.
Apakah dalam jangka waktu lima tahun bisa terwujud? Sepertinya tidak mungkin, mustahil. Kecuali, puluhan tahun ke depan. Mungkin bisa saja terealisasi.
Silakan saja berharap ada kereta api lagi di Madura. Tapi, jangan terlalu menaruh harapan besar. Sebab, bisa saja harapan kita itu ibarat berteriak meminta pertolongan di tengah laut. Semakin kencang kita berteriak, tak ada gunanya. Sebab, tidak ada orang yang bisa mendengar teriakan kita.
Karena itu, anggap kabar tentang reaktivasi kereta api di Madura itu sebagai hiburan. Nikmati layaknya hiburan akhir pekan.
Saya bukan tidak senang ada kereta api lagi di Madura. Justru saya senang sekali. Sebab, setiap sepekan saya berangkat kerja ke Bangkalan. Sementara, rumah saya di ujung timur Pulau Madura, Sumenep.
Saya hanya tidak yakin saja. Apalagi, kabar tentang reaktivasi kereta api di Madura mengemuka menjelang tahun politik. Muatannya terlalu kuat.
Lalu pertanyaannya, mengapa wacana itu diembuskan di tahun-tahun politik? Jangan-jangan supaya dapat simpati dari masyarakat, mungkin. Hanya mereka dan para elite yang tahu.
Kita sebagai warga sipil mendengar kabar itu ya senang-senang saja. Intinya, mewacanakan reaktivasi kereta api di Madura harus benar-benar menjadi upaya dan niat yang tulus, bukan harapan palsu.
Sikap pesimistis atas wacana itu sesuatu yang wajar. Apalagi, wacana tersebut dilontarkan pejabat yang sedang berkuasa hari ini. Tentu hal yang normal kalau kita tidak langsung percaya.
Terlepas kabar bahwa reaktivasi kereta api di Madura butuh dana tidak sedikit, itu pasti. Informasinya butuh dana Rp 3,3 triliun. Belum lagi kabarnya sudah ada investor dari Jepang yang siap membiayai. Amin.
Semoga saja reaktivasi kereta api di Madura tidak sekadar pepesan kosong. Tapi, ada semangat menuju nyata.
Sebab, saya tidak ingin wacana ini sama nasibnya dengan Perpres 80/2019. Hanya di awal-awal gembar-gembor bahwa di Madura akan ada mega pembangunan. Mulai dari tol Madura, pelabuhan peti kemas, dan banyak lagi. Kenyataannya sampai sekarang zonk.
Maka, terlepas ramalan Baba Vanga tentang apa pun itu, kita harus tetap menaruh curiga bahwa tidak semua omongan yang datang dari pejabat pemerintah, kita telan mentah-mentah. Jangan! Kita harus skeptis.
Tapi, sebagai manusia yang beriman, berharap pada sesuatu yang belum terjadi boleh-boleh saja. Asalkan tidak berlebihan. Sebab, sesuatu yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan jantung. Sekian….
)* Redaktur Jawa Pos Radar Madura