PANTAI Tlanakan yang masuk peta administrasi Kabupaten Pamekasan bersolek. Gincu kuning keemasan mendarat di bibir pantai hasil reklamasi. Bendera beragam warna melambai dari perahu kayu yang berserakan.
Bendera itu seolah mengisyaratkan perlawanan. Melawan keberingasan alat berat yang menjejali bibir pantai dengan batu dan tanah. Melawan hegemoni rupiah yang memicu tangan kuasa melemah. Parah.
Ditelaah secara holistik, reklamasi memang tidak selamanya negatif. Beberapa negara sukses membangun ekonomi dari penimbunan bibir pantai itu. Singapura misalnya. Negara yang berada di ujung semenanjung Malaya itu berhasil menambah hunian dan membangun bandar udara berkat reklamasi.
Begitu pula dengan Hongkong. Kota yang terletak di bagian tenggara Tiongkok itu berhasil membangun Bandara Internasional Chek Lap Kok dari lahan reklamasi. Keberadaan bandara itu berdampak positif bagi peningkatan ekonomi.
Regulasi juga memberikan ruang bagi segenap rakyat Indonesia mereklamasi pantai. Sebagaimana diatur dalam Perpres 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Tetapi, ada aturan main yang wajib ditaati sebelum reklamasi dilakukan. Semisal pada pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa reklamasi wajib didahului perencanaan. Reklamasi wajib memiliki fixed plant.
Kepastian perencanaan itu diwujudkan melalui penentuan lokasi, penyusunan rencana induk, studi kelayakan, dan penyusunan rencana detail. Penjelasan lugas mengenai penentuan lokasi termaktub dalam pasal 4 ayat (3).
Dijelaskan bahwa penentuan lokasi wajib mempertimbangkan aspek teknis, aspek lingkungan hidup, dan aspek sosial ekonomi (tabulasi). Konstitusi mengamanahkan enam poin dalam penentuan aspek teknis itu. Yakni, hidro-oseanografi, hidrologi, batimetri, topografi, geomorfologi, dan/atau geoteknik.
Sementara aspek lingkungan hidup yang wajib diperhatikan lebih mengarah pada kondisi lingkungan hidup di sekitar lokasi yang hendak direklamasi. Meliputi, kualitas air laut, kualitas air tanah, kualitas udara, kondisi ekosistem pesisir (mangrove, lamun, terumbu karang), flora dan fauna darat, serta biota perairan.
Mengapa reklamasi butuh proses kajian panjang dan cenderung njlimet? karena pengurukan dan penimbunan bibir pantai bisa berdampak fatal yang komprehensif terhadap lingkungan serta sosial ekonomi.
Masselink, G. dan Russell dalam impact of climate change on coastal erosion. Marine Climate Change Impacts Partnership menyebutkan bahwa perairan pantai merupakan wilayah yang sangat dinamis dan intensif mendapat pengaruh antropogenik.
Berbagai aktivitas manusia di wilayah pantai dapat menimbulkan perubahan struktur pantai dari kondisi alaminya, baik terjadi secara alami seperti pendangkalan dan erosi maupun buatan manusia berupa reklamasi.
Perubahan struktur pantai itu berpengaruh pada pola arus, pasang surut, erosi, dan sedimentasi pantai. Kondisi pantai yang tidak lagi perawan itu juga memicu rusaknya habitat dan ekosistem laut di sekitarnya.
Jennefer Laidley, akamedisi York University, Inggris, dalam penelitiannya yang berjudul Constructing a Foudation for Change the Ecosystem Approach and The Global Imperative on Toronto’s Central Water Front menyebutkan bahwa reklamasi memiliki dampak perubahan sosial ekonomi. Di antaranya, akses publik ke pantai semakin terbatas dan berkurangnya mata pencaharian.
Apakah reklamasi di Desa/Kecamatan Tlanakan sudah melalui rentetan kajian sesuai amanah konstitusi? Apakah dampak ekologis dan sosial ekonomi sudah diperhitungkan dan mendapat solusi? Mari kita telaah bersama.
Merujuk pada pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pamekasan Amin Jabir di Harian Jawa Pos Radar Madura edisi 23 Februari 2020 bahwa berdasarkan hasil koordinasi dengan sejumlah instansi, reklamasi itu tidak mengantongi rekomendasi apa pun.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa reklamasi di Pantai Tlanakan yang diduga kuat milik perusahaan swasta itu liar dan ilegal. Selaras dengan Jabir, Sekretaris Dinas Perikanan Pamekasan Fathor Rasyid juga memastikan tidak pernah mengeluarkan rekomendasi apa pun terkait reklamasi itu.
Bahkan, kawasan yang saat ini ditimbun batu dan tanah untuk membuat daratan baru itu sempat dipasang larangan reklamasi lantaran wilayah tersebut masuk kawasan konservasi.
Hipotesis sementara, reklamasi itu tidak memiliki kekuatan yuridis. Dalam bahasa latin, kegiatan tersebut biasa disebut a bene placito atau sekehendak hati tanpa adanya konvensi dari pemerintah selaku pemegang kendali perizinan.
Kondisi itu memunculkan enigma di tengah persepsi publik. Beragam pertanyaan menggerus arus lalu lintas pikir. Di antara pertanyaan yang muncul yakni, jika tidak berizin mengapa dibiarkan. Jika tidak sesuai regulasi, mengapa tidak disanksi.
Jika menyalahi aturan, mengapa tidak dilakukan tindakan. Mengapa, mengapa, dan masih banyak narasi mengapa lain yang membungkus benak publik. Jawaban sementara; hanya pemerintah dan Tuhan saja yang tahu.
Selama pemerintah pasif dan tidak ada implusif dari reklamasi itu, narasi tanda tanya bahkan asumsi negatif seperti adanya konspirasi akan selalu terngiang di alam pikir masyarakat. Pemerintah harus segera menjawab. Mari kita tunggu jawaban itu. Salam lestari.