21.6 C
Madura
Friday, June 9, 2023

Membongkar Bobroknya Distribusi Elpiji 3 Kg

Kuota elipiji 3 kilogram (kg) untuk warga miskin di Madura tahun ini 79.724 metrik ton (MT). Namun, distribusinya tidak tepat sasaran. Banyak kalangan menengah ke atas yang ikut menikmati jatah bahan bakar bersubsidi tersebut.

PENGGUNA liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji berukuran 3 kg di wilayah Sampang tidak semuanya warga miskin. Banyak usaha restoran yang menggunakan elpiji bersubsidi itu. Bahkan, aparatur sipil negara (ASN) juga menggunakannya.

Kepada RadarMadura.id, salah seorang pemilik pangkalan elpiji 3 kg yang meminta namanya tidak dikorankan mengungkapkan, banyak restoran yang tetap menggunakan elpiji bersubsidi. Alasannya, menggunakan elpiji 3 kg itu lebih menguntungkan.

”Kata si pemilik restoran, lebih irit pakai yang 3 kg. Perbandingannya, tiga tabung 3 kg itu lebih lama penggunaannya dibanding satu tabung ukuran 12 kg,” jelas sumber tersebut kemarin (20/10).

Apa yang disampaikan pemilik pangkalan elpiji 3 kg itu diamini oleh Kasubbag Sarana Perekonomian Bagian Perekonomian Setkab Sampang Agus Utomo. Menurutnya, saat ini memang banyak restoran yang menggunakan elpiji 3 kg, termasuk ASN.

Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya karena regulasi tentang pengendalian elpiji 3 kg tidak tegas. Selama ini pengendalian penggunaan elpiji 3 kg tidak dibarengi dengan sanksi yang jelas.

Agus mencontohkan, pada 23 Maret 2018, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi mengeluarkan surat bernomor 3212/12/DJM.O/2018 perihal pengguna elpiji 3 kg. Ada empat poin dalam surat tersebut. Poin satu hingga tiga menjabarkan tentang regulasi dan upaya pengendalian elpiji 3 kg.

Sementara poin keempat mengatur tentang pihak-pihak yang dilarang menggunakan elpiji 3 kg. Di surat tersebut tertera bahwa restoran, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha batik, usaha binatu, usaha jasa las, dan usaha tani tembakau dilarang menggunakan elpiji 3 kg yang merupakan elpiji bersubsidi.

Baca Juga :  Menghilang Setahun, Buronan Curas di Akses Suramadu Dibekuk

”Tetapi itu hanya berupa larangan. Sedangkan sanksinya apa? Tidak jelas. Akhirnya larangan tersebut tak lebih dari sekadar imbauan,” kata Agus Utomo.

Ada pula surat edaran dari gubernur Jawa Timur tertanggal 28 Juni 2018. Surat bernomor 540/9176/022.1/2018 yang ditandatangani Soekarwo itu berisi tentang pengguna elpiji 3 kg bersubsidi tepat sasaran. Surat tersebut dikirim ke seluruh kepala daerah di Jawa Timur serta kepala OPD di lingkungan pemerintah provinsi Jawa Timur.

Ada empat kelompok yang dilarang menggunakan elpiji 3 kg dalam surat tersebut. Pertama, ASN Pemprov Jawa Timur dan pemkab/pemkot se-Jawa Timur. Kedua, para pelaku usaha selain usaha mikro yang memiliki kekayaan bersih dari Rp 50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta.

Ketiga, konsumen elpiji, antara lain restoran, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha batik, usaha binatu, usaha jasa las, dan usaha tani tembakau. Keempat, seluruh masyarakat di wilayah kabupaten/kota se-Jawa Timur yang dikategorikan mampu dan tidak memiliki surat keterangan tidak mampu dari desa/kelurahan setempat.

Tetapi, lagi-lagi surat tersebut lebih bersifat imbauan. Sebab, di keterangan hanya tertulis bahwa keempat kelompok di atas agar tidak menggunakan elpiji tabung ukuran 3 kg dan beralih menggunakan elpiji tabung selain ukuran 3 kg.

”Isi suratnya hanya agar tidak menggunakan (dengan huruf tebal). Sementara sanksi bagi yang melanggarnya tidak ada,” jelas Agus.

Pihaknya mengaku sudah sering menyampaikan ketigaktegasan regulasi tentang pengendalian elpiji 3 kg di tingkat provinsi. Tetapi, sampai saat ini tetap saja tidak ada tindak lanjut. Karenanya tak heran manakala banyak yang seharusnya tidak menggunakan elpiji 3 kg tetap menggunakannya.

Baca Juga :  JSK Petroleum Academy-Aspermigas Sukses Gelar Pelatihan Migas

”Karena tidak ada sanksi, ya akhirnya imbauan itu tidak berjalan efektif. Tanpa adanya sanksi, pemkab juga tidak bisa bertindak,” imbuhnya.

Di Kota Salak, pendistribusian elpiji 3 kilogram juga tidak terpantau maksimal. Bahkan, pengawasannya lemah.

R (inisial), pengusaha kafe di Jalan Raya Telang, Kecamatan Kamal, mengaku menggunakan elpiji 3 kilogram. Setiap minggunya bisa menghabiskan 3–4 elpiji 3 kg. ”Tinggal dikalikan saja,” ujarnya.

Dia menggunakan elpiji 3 kg karena lebih irit. ”Tidak pakai tabung nonsubsidi karena sudah pertama kali merintis menggunakan tabung bersubsidi. Sampai sekarang, meskipun tambah ramai pengunjung, tetap menggunakan tabung subsidi,” ucapnya.

Kasi Pengadaan dan Penyaluran Disdag Bangkalan Siti Fitriya mengatakan, pendistribusian elpiji bersubsidi dari Pertamina ke agen, lalu ke pangkalan, dan terakhir ke pengecer. Pihaknya mengaku hanya memantau agen. ”Dari logbook bisa tertera pangkalannya,” terang perempuan yang akrab disapa Pipit itu.

Dari masing-masing agen, pihaknya tanyakan kebutuhan kuota per bulannya. Jumlah kebutuhan agen tidak sama. Per bulan ada yang 40 delivery order (DO) sampai 169 DO. Satu DO sebanyak 560 tabung. Masing-masing agen tidak mengetahui secara pasti kuota per bulan. ”Yang menangani Pertamina langsung,” tuturnya.

Pihaknya turun ke lapangan untuk mengetahui dan menanyakan kuota dari masing-maisng agen. Saat ini baru empat agen yang sudah dimintai keterangan. ”Kalau kuota kami tidak tahu. Sedangkan pengajuan untuk tahun 2020 masih belum dikonsultasikan dengan atasan,” akunya.

Sementara itu, Kabag Perekonomian Setkab Bangkalan Iskandar A. Hidayat menyebut kebutuhan elpiji 3 kg di Kota Salak tahun depan diperkirakan mencapai 17.589.266 tabung. ”Ini usulan sementara untuk 2020. Kalau dalam bentuk MT 52.767,” katanya melalui pesan WhatsApp (WA).

Kuota elipiji 3 kilogram (kg) untuk warga miskin di Madura tahun ini 79.724 metrik ton (MT). Namun, distribusinya tidak tepat sasaran. Banyak kalangan menengah ke atas yang ikut menikmati jatah bahan bakar bersubsidi tersebut.

PENGGUNA liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji berukuran 3 kg di wilayah Sampang tidak semuanya warga miskin. Banyak usaha restoran yang menggunakan elpiji bersubsidi itu. Bahkan, aparatur sipil negara (ASN) juga menggunakannya.

Kepada RadarMadura.id, salah seorang pemilik pangkalan elpiji 3 kg yang meminta namanya tidak dikorankan mengungkapkan, banyak restoran yang tetap menggunakan elpiji bersubsidi. Alasannya, menggunakan elpiji 3 kg itu lebih menguntungkan.


”Kata si pemilik restoran, lebih irit pakai yang 3 kg. Perbandingannya, tiga tabung 3 kg itu lebih lama penggunaannya dibanding satu tabung ukuran 12 kg,” jelas sumber tersebut kemarin (20/10).

Apa yang disampaikan pemilik pangkalan elpiji 3 kg itu diamini oleh Kasubbag Sarana Perekonomian Bagian Perekonomian Setkab Sampang Agus Utomo. Menurutnya, saat ini memang banyak restoran yang menggunakan elpiji 3 kg, termasuk ASN.

Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya karena regulasi tentang pengendalian elpiji 3 kg tidak tegas. Selama ini pengendalian penggunaan elpiji 3 kg tidak dibarengi dengan sanksi yang jelas.

Agus mencontohkan, pada 23 Maret 2018, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi mengeluarkan surat bernomor 3212/12/DJM.O/2018 perihal pengguna elpiji 3 kg. Ada empat poin dalam surat tersebut. Poin satu hingga tiga menjabarkan tentang regulasi dan upaya pengendalian elpiji 3 kg.

- Advertisement -

Sementara poin keempat mengatur tentang pihak-pihak yang dilarang menggunakan elpiji 3 kg. Di surat tersebut tertera bahwa restoran, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha batik, usaha binatu, usaha jasa las, dan usaha tani tembakau dilarang menggunakan elpiji 3 kg yang merupakan elpiji bersubsidi.

Baca Juga :  JSK Petroleum Academy-Aspermigas Sukses Gelar Pelatihan Migas

”Tetapi itu hanya berupa larangan. Sedangkan sanksinya apa? Tidak jelas. Akhirnya larangan tersebut tak lebih dari sekadar imbauan,” kata Agus Utomo.

Ada pula surat edaran dari gubernur Jawa Timur tertanggal 28 Juni 2018. Surat bernomor 540/9176/022.1/2018 yang ditandatangani Soekarwo itu berisi tentang pengguna elpiji 3 kg bersubsidi tepat sasaran. Surat tersebut dikirim ke seluruh kepala daerah di Jawa Timur serta kepala OPD di lingkungan pemerintah provinsi Jawa Timur.

Ada empat kelompok yang dilarang menggunakan elpiji 3 kg dalam surat tersebut. Pertama, ASN Pemprov Jawa Timur dan pemkab/pemkot se-Jawa Timur. Kedua, para pelaku usaha selain usaha mikro yang memiliki kekayaan bersih dari Rp 50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300 juta.

Ketiga, konsumen elpiji, antara lain restoran, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha batik, usaha binatu, usaha jasa las, dan usaha tani tembakau. Keempat, seluruh masyarakat di wilayah kabupaten/kota se-Jawa Timur yang dikategorikan mampu dan tidak memiliki surat keterangan tidak mampu dari desa/kelurahan setempat.

Tetapi, lagi-lagi surat tersebut lebih bersifat imbauan. Sebab, di keterangan hanya tertulis bahwa keempat kelompok di atas agar tidak menggunakan elpiji tabung ukuran 3 kg dan beralih menggunakan elpiji tabung selain ukuran 3 kg.

”Isi suratnya hanya agar tidak menggunakan (dengan huruf tebal). Sementara sanksi bagi yang melanggarnya tidak ada,” jelas Agus.

Pihaknya mengaku sudah sering menyampaikan ketigaktegasan regulasi tentang pengendalian elpiji 3 kg di tingkat provinsi. Tetapi, sampai saat ini tetap saja tidak ada tindak lanjut. Karenanya tak heran manakala banyak yang seharusnya tidak menggunakan elpiji 3 kg tetap menggunakannya.

Baca Juga :  Bupati Ra Latif Perjuangkan Infrastruktur

”Karena tidak ada sanksi, ya akhirnya imbauan itu tidak berjalan efektif. Tanpa adanya sanksi, pemkab juga tidak bisa bertindak,” imbuhnya.

Di Kota Salak, pendistribusian elpiji 3 kilogram juga tidak terpantau maksimal. Bahkan, pengawasannya lemah.

R (inisial), pengusaha kafe di Jalan Raya Telang, Kecamatan Kamal, mengaku menggunakan elpiji 3 kilogram. Setiap minggunya bisa menghabiskan 3–4 elpiji 3 kg. ”Tinggal dikalikan saja,” ujarnya.

Dia menggunakan elpiji 3 kg karena lebih irit. ”Tidak pakai tabung nonsubsidi karena sudah pertama kali merintis menggunakan tabung bersubsidi. Sampai sekarang, meskipun tambah ramai pengunjung, tetap menggunakan tabung subsidi,” ucapnya.

Kasi Pengadaan dan Penyaluran Disdag Bangkalan Siti Fitriya mengatakan, pendistribusian elpiji bersubsidi dari Pertamina ke agen, lalu ke pangkalan, dan terakhir ke pengecer. Pihaknya mengaku hanya memantau agen. ”Dari logbook bisa tertera pangkalannya,” terang perempuan yang akrab disapa Pipit itu.

Dari masing-masing agen, pihaknya tanyakan kebutuhan kuota per bulannya. Jumlah kebutuhan agen tidak sama. Per bulan ada yang 40 delivery order (DO) sampai 169 DO. Satu DO sebanyak 560 tabung. Masing-masing agen tidak mengetahui secara pasti kuota per bulan. ”Yang menangani Pertamina langsung,” tuturnya.

Pihaknya turun ke lapangan untuk mengetahui dan menanyakan kuota dari masing-maisng agen. Saat ini baru empat agen yang sudah dimintai keterangan. ”Kalau kuota kami tidak tahu. Sedangkan pengajuan untuk tahun 2020 masih belum dikonsultasikan dengan atasan,” akunya.

Sementara itu, Kabag Perekonomian Setkab Bangkalan Iskandar A. Hidayat menyebut kebutuhan elpiji 3 kg di Kota Salak tahun depan diperkirakan mencapai 17.589.266 tabung. ”Ini usulan sementara untuk 2020. Kalau dalam bentuk MT 52.767,” katanya melalui pesan WhatsApp (WA).

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/