JAKARTA – Ekspor dan impor Indonesia pada Juni 2021 mengalami peningkatan, baik secara bulanan (mtm) maupun tahunan (yoy). Peningkatan ekspor dan impor tersebut menunjukkan aktivitas ekonomi di Indonesia terus pulih. Meski di masa pandemi Covid-19, performa Neraca Perdagangan Indonesia masih cukup impresif.
Surplus Neraca Perdagangan berlangsung selama 14 bulan berturut-turut sejak Mei 2020, termasuk pada Juni 2021 yang surplus US$ 1,32 miliar. Secara historis, surplus pada 2020 mencapai rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir dengan mencatatkan nilai sebesar US$ 21,62 miliar.
Angka tersebut juga telah mendekati rata-rata performa surplus pada peak periode 2001-2011 dengan nilai sebesar US$ 26,16 miliar. Sebelumnya Indonesia lebih sering defisit, tepatnya sejak 2012.
Surplus tersebut ditopang oleh beberapa komoditas nonmigas andalan Indonesia yaitu lemak dan minyak hewani atau nabati (HS 15), bahan bakar mineral (HS 27), serta besi dan baja (HS 72). Namun, surplus neraca perdagangan ditekan oleh beberapa komoditas yang mengalami defisit.
Utamanya berasal dari reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis (HS 84), mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya (HS 85). termasuk plastik dan barang daripadanya (HS 39).
“Performa Neraca Perdagangan yang cukup resilience di masa pandemi perlu diapresiasi. Untuk menjaga keberlanjutan surplus perdagangan ke depan, perlu terus dicermati beberapa faktor kunci,” ucap Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto.
Faktor kunci tersebut di antaranya, stabilitas pertumbuhan permintaan global. Khususnya pada pasar utama; peran dan fungsi perwakilan perdagangan (Perwadag) dalam mendorong peningkatan ekspor. Lalu dinamika perkembangan harga dan volume ekspor komoditas utama dan potensial; sert strategi pemerintah dalam menjaga keseimbangan pertumbuhan impor. Utamanya pada komponen impor konsumsi.
Berdasarkan data BPS per 15 Juli 2021, nilai ekspor tercatat US$ 18,55 miliar dan impor US$ 17,23 miliar. Nilai ekspor pada Juni 2021 mencatatkan rekor tertinggi sejak Agustus 2011. Sedangkan nilai impor tertinggi sejak Oktober 2018.
Jumlah ekspor tersebut meningkat 54,46 persen secara tahunan (yoy) yaitu dari US$ 12,01 miliar pada Juni 2020 menjadi US$ 18,55 miliar pada Juni 2021. Sedangkan impor naik 60,12 perse dari US$ 10,76 miliar pada Juni 2020 menjadi US$ 17,23 miliar pada Juni 2021.
Ekspor Indonesia ini memiliki performa yang lebih baik dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Misalnya seperti Korea Selatan (39,8 persen secara yoy), Taiwan (25,6 persen secara yoy), dan Vietnam (20,4 persen secara yoy).
Ekspor nonmigas berkontribusi 93,32 persen atau US$ 17,31 miliar dari dari total ekspor di Juni 2021. Terdiri atas ekspor industri (75,91 persen), tambang (15,70 persen), dan pertanian (1,75 persen); sementara ekspor migas menyumbang 6,64 perseb saja atau US$ 1,23 miliar.
Peningkatan ekspor juga dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditas global. Beberapa komoditas global yang mengalami peningkatan harga antara lain batu bara (Australia) meningkat sebesar 148,94 persen (yoy) dan CPO meningkat sebesar 54,99 persen (yoy).
Kenaikan harga di kedua komoditas ekspor utama Indonesia ini telah berkontribusi terhadap peningkatan kinerja ekspor di Juni 2021.
Nilai impor Juni 2021 sebesar US$ 17,23 miliar terdiri dari impor migas senilai US$ 2,30 miliar dan nonmigas sebesar US$ 14,93 miliar. Secara penggunaan barang, dibandingkan bulan sebelumnya, nilai impor seluruh golongan penggunaan barang selama Juni 2021 mengalami peningkatan.
Peningkatan terbesar menurut penggunaan barang terjadi pada golongan barang modal yang meningkat sebesar 35,02 persen secara bulanan (mtm). Lalu diikuti bahan baku/penolong sebesar 19,15 persen (mtm), dan barang konsumsi sebesar 16,92 persen (mtm).
“Peningkatan impor bahan baku/penolong mencerminkan peningkatan kinerja sektor riil. Sementara peningkatan barang modal juga cukup baik karena berdampak pada peningkatan kapasitas produksi,” ujar Airlangga.
Capaian kinerja Neraca Perdagangan juga dipengaruhi oleh perkembangan aktivitas manufaktur negara mitra dagang utama, terutama Amerika Serikat dan Tiongkok. Indeks PMI Manufaktur di kedua negara tersebut masih berada di level ekspansif, yakni 62,1 (AS) dan 51,3 (Tiongkok).
Tingginya permintaan global telah mendorong aktivitas produksi dalam negeri untuk memenuhi hal itu. Sehingga indeks PMI Manufaktur Indonesia berada di level 53,5 dan kinerja ekspor Indonesia meningkat di Juni 2021.
“Secara garis besar, pada Juni 2021, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan nonmigas dengan beberapa negara. perinciannya Amerika Serikat (US$ 1,34 miliar), Filipina (US$ 0,65 miliar), dan Malaysia (US$ 0,32miliar). Sementara, Indonesia mengalami defisit dengan Tiongkok (US$ -0,60 miliar), Australia (US$ -0,48 miliar), dan Thailand (US$ -0,33 miliar),” pungkas Airlangga. (*/par)