Edhi Setiawan memang sudah wafat. Namun, riwayatnya tidak pernah tamat. Banyak orang yang mendapat semangat dan ilmu darinya.
MEJA bundar itu menjadi saksi bahwa Edhi Setiawan dekat dengan semua kalangan. Aktivis, wartawan, seniman, dan budayawan pernah merasakan sambutan hangat pemilik rumah. Bahkan, mungkin sering menimba ilmu kepada sosok yang akrab disapa Om Edhi tersebut.
Edhi tinggal di Jalan Panglima Sudirman. Dari depan, bangunan itu hanya terlihat sebagai rumah makan. Sebab, di bagian depan memang tempat usaha. Rumah Makan 17 Agustus.
Namun, di bagian tengah di belakang warung itu menyimpan kenangan bagi banyak kalangan. Di tempat itulah Edhi sering menemui, berdiskusi, dan berbagi ilmu kepada setiap mereka yang datang. Di bagian tengah ada meja bundar. Di sekelilingnya ada foto hasil jepretan, trofi, dan ukiran miliknya.
Tidak sedikit orang yang keluar masuk dari ruangan itu. Dengan mengelilingi meja bundar itulah obrolan hangat berlangsung. Tidak jarang diselingi gelak tawa.
Budayawan Syaf Anton Wr mengenal Edhi Setiawan sejak akhir 1970-an. Saat itu dia sudah dikenal sebagai seorang seniman. Saat remaja, Anton banyak belajar pada Edhi tentang dunia kesenian. Tahun-tahun itu Edhi sudah berkiprah dalam dunia seni, dan sempat menyutradarai beberapa drama. ”Edhi adalah guru saya dalam berkesenian,” katanya kepada RadarMadura.id kemarin (16/10).
Menurut Anton, Edhi Setiawan adalah maestro budayawan Madura. Sepenuh hidup dia abdikan untuk Madura. Edhi pernah membawa topeng dalang keliling Jepang dan Prancis tanpa bantuan biaya pemerintah. Dia dekat dengan para dalang dan seniman tradisi lainnya. Dia punya pengaruh besar terhadap seniman tradisional.
Kecintaannya terhadap Madura, kata Anton, dapat dilihat dari usaha bisnis rumah makannya. Yang ditawarkan dan ditonjolkan kuliner Madura meski menjual menu makanan umum. Juga, dia membuka usaha ukiran Madura dengan mendatangkan pengukir dari Karduluk dan lainnya.
Dari kalangan wartawan, Ibnu Hajar di antara kuli tinta yang menjadi saksi bahwa sosok Edhi sangat terbuka. Menurut Ibnu, dari meja bundar Edhi Setiawan itu melahirkan jurnalis-jurnalis luar biasa. ”Mohon maaf, dalam tanda petik, walaupun dia keturunan Tionghoa dia sangat Madura dari orang Madura dalam mencintai kebudayaannya,” katanya.
Pemred Radio Nada FM itu menambahkan, ketika wartawan menulis tentang Madura, Edhi jadi referensi. Dia adalah literatur tentang kebudayaan Madura dan literatur fotografi yang berjalan. ”Ketika dia dipanggil oleh Tuhan, saya sebagai jurnalis merasa kehilangan luar biasa. Saya hanya bisa berharap, karya-karya beliau bisa kita nikmati. Saya berharap juga anak cucu beliau bisa merawat karya-karya, terutama karya-karya foto, bahkan koleksi-koleksi keris dan koleksi batik yang ratusan tahun itu,” harap Ibnu.
Sastrawan Mahwi Air Tawar adalah satu dari sekian kalangan muda yang mengakui ketokohan Edhi Setiawan. Menurut redaktur majalah Horison itu, Edhi bukan hanya seniman fotografi yang sudah menerima banyak penghargaan. Tapi, juga seorang organisatoris yang pada 1986 mampu membawa topeng dalang Sumenep pentas di Asia dan Eropa. Sehingga banyak peneliti kesenian terpikat dengan kesenian topeng dalang.
”Bagi saya, Om Edhi bukan hanya seorang seniman dan budayawan luar biasa. Tetapi, beliau adalah guru, sahabat, dan orang tua yang dengan penuh kesabaran mampu menuturkan Madura tempo dulu kepada generasi muda, baik yang datang ke rumahnya maupun ketika bersua di jalan,” tandas Mahwi.
Edhi Setiawan lahir di Sumenep, 13 Januari 1946. Dia meninggal pada usia 73 tahun kemarin (16/10). Jenazah akan dikebumikan di Pemakaman Keluarga Taposan Minggu (20/10) pukul 09.30. Selamat jalan, Om Edhi.