JAKARTA – Performa neraca perdagangan pada September 2021 mencatatkan surplus sebesar US$ 4,37 miliar. Hal itu berdasar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (15/10). Artinya, tren surplus sejak Mei 2020 dapat dipertahankan atau telah mengalami surplus selama 17 bulan berturut-turut.
Kinerja surplus yang impresif tersebut ditopang oleh peningkatan ekspor Indonesia yang tetap terjaga pada September 2021. Nilainya mencapai US$ 20,60 miliar atau meningkat double digit sebesar 47,64 persen (yoy).
”Pencapaian ini mengindikasikan pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut. Hal ini juga tecermin dari level Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang kembali berada pada zona ekspansif yakni 52,2 pada September 2021. Bulan sebelumnya di level 43,7,” ujar Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Menurut dia, level PMI Indonesia pada September 2021 bahkan lebih baik daripada beberapa negara ASEAN. Misalnya, Filipina (50,9), Thailand (48,9), Malaysia (48,1), Myanmar (41,1), dan Vietnam (40,2). Pelonggaran pembatasan mobilitas masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia di tengah penurunan kasus Covid-19 mampu mendorong tumbuhnya sektor manufaktur.
Dia menjelaskan, surplus perdagangan terus terjaga karena kinerja komoditas ekspor andalan Indonesia terus meningkat di tengah tren peningkatan harga. Khususnya Batubara sebesar 254,44 persen (yoy) dan CPO 63,90 persen (mtm).
”Selain disebabkan mekanisme pasar, strategi kebijakan pemerintah (selama pandemi) menjamin dan menjaga pasokan ekspor kedua komoditas tersebut menjadi kunci keberhasilan di tengah kenaikan harga,” ungkap Menko Airlangga.
Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar kedua di dunia dan merupakan eksportir terbesar pertama di dunia untuk komoditas minyak kelapa sawit. Peranan penting Indonesia pada kedua komoditas tersebut sangat menentukan pasokan dunia.
Di tengah permintaan yang tinggi, pemerintah berhasil menyusun strategi kebijakan manajemen pasokan ekspor yang optimal. Tapi, tetap menjaga stabilitas stok domestik melalui penetapan domestic market obligation (DMO) bagi produsen batubara sebesar 25 persen.
Kebijakan ini memiliki dampak positif dalam menjaga momen tren kenaikan harga global komoditas tersebut. Di sisi lain, DMO juga diindikasi mampu mendorong pengembangan produk hilir batubara melalui ketersediaan bahan baku domestik untuk pengembangan produk gasifikasi, liquifikasi, briketisasi, dan berbagai pengembangan produk lainnya.
Pada komoditas minyak kelapa sawit, strategi kebijakan pemerintah melalui penetapan tarif progresif pada pungutan ekspor (PE) komoditas sawit juga diindikasi menjadi faktor kunci dalam manajemen pasokan dunia. Termasuk menjaga tren momen kenaikan harga komoditas tersebut.
Di sisi lain, skema PE progresif mampu mendorong ekspor komoditas turunan minyak sawit (turunan CPO) yang bernilai tambah dengan menjamin ketersediaan stok minyak sawit mentah dalam negeri. Dengan demikian, produsen hilir domestik mendapatkan keunggulan. Sebab, harga bahan baku relatif lebih murah dibandingkan produsen dari luar negeri.
Selain strategi spesifik pada kedua komoditas tersebut, pemerintah juga berperan aktif mendorong kinerja ekspor Indonesia melalui beberapa kebijakan. Pertama, insentif fiskal dan nonfiskal. Kedua, fasilitas penyediaan ruang pamer, kegiatan pengembangan desain, dan pelayanan pelaku usaha.
Ketiga, bimbingan teknis kepada pelaku usaha dan eksportir. Keempat, informasi peluang pasar. Kelima, pembiayaan, penjaminan, dan asuransi ekspor. Keenam, promosi dan pemasaran.
”Komitmen pemerintah dalam mendorong ekspor akan terus ditingkatkan melalui optimalisasi berbagai kebijakan. Terutama dalam mendorong ekspor komoditas dengan nilai tambah lebih besar,” pungkas Airlangga Hartarto. (dep1/fsr/par)