24.7 C
Madura
Sunday, June 4, 2023

Kerja Sambil Kuliah di Universitas Indonesia

Mimpi itu bernama Eropa. Sebagai anak desa terpencil di Desa Dlambah Dajah, Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan, kata ”Eropa” tentu menjadi suatu kosakata asing yang hanya sebuah mimpi di siang bolong. Akan tetapi, saya percaya bahwa semua itu bermula dari mimpi. 

CERITA mimpi itu dimulai ketika saya menjalankan studi di Pondok Pesantren As-Shomadiyah Burneh selama enam tahun pada 1996 hingga 2002. Rekan-rekan seusia saya pada saat itu sangat gemar menonton tayangan sepak bola Seri-A Italia yang pada era 1996–2000 menjadi liga terbaik di dunia. Kecintaan yang besar terhadap tayangan Seri-A dan Tim Inter Milan, membuat saya saat itu harus rela melanggar aturan pondok yang melarang menonton televisi.

Pada September 1996, di tengah keseruan saya menonton pertandingan Seri-A Italia, saya berucap bahwa suatu saat nanti saya akan ke Eropa dan menonton langsung pertandingan Inter Milan. Ungkapan ini sontak menjadi cibiran, karena bagaimana mungkin itu terjadi kepada saya yang hanya orang kampung, bahkan listrik saja pada saat itu belum ada karena baru masuk listrik tahun 2016. Di samping itu, kekuatan ekonomi keluarga yang lemah menjadi ganjalan besar untuk mewujudkan mimpi itu. Meskipun saya tidak pernah berhenti bermimpi sejak itu.

Gantungkan cita-citamu setinggi langit dan bermimpilah setinggi langit, ungkapan yang disampaikan Bapak Proklamator RI Ir Soekarno, menjadi kekuatan dalam hidup saya. Bagaimana tidak, meskipun keluarga memiliki keterbatasan ekononi, saya yang hanya menyelesaikan pendidikan di SMPN 4 Bangkalan dan SMAN 1 Bangkalan kemudian bertekad untuk melanjutkan studi lanjutan ke perguruan tinggi meskipun ayah saya saat itu tidak memiliki uang untuk melakukan pendaftaran.

Baca Juga :  Salurkan Paket Internet Gratis untuk Madrasah

Dengan bermodalkan berutang dari sanak saudara di Jakarta, alhamdulillah saya diterima dalam tes masuk sebagai mahasiswa jurusan Akuntansi di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) atau terkenal dengan  sebutan Politeknik Universitas Indonesia/Poltek UI pada 2002. Kesulitan ekonomi keluarga memaksa saya untuk belajar dengan giat dan menggantungkan diri pada beasiswa dari kampus untuk dapat menyelesaikan studi hingga 2005.

Berbekal ijazah diploma III ini, saya mendapatkan pekerjaan sebagai accounting officer di salah satu perusahaan tambang batu bara nasional. Bermodal gaji yang pas-pasan untuk hidup dan kos-kosan, pada tahun 2006 saya nekat melajutkan studi di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan dapat menyelesaikan studi tepat waktu sebagai Sarjana Ekonomi pada 2008 dari Universitas Indonesia. Saat itu, bahkan saya tinggal di kos-kosang yang berukuran 3×2,5meter di daerah Depok dan Pasar Minggu untuk bisa bertahan hidup.

Lulus dari UI, saya berencana melanjutkan studi ke Eropa seperti mimpi yang saya miliki. Namun keterbatasan ekonomi keluarga mengharuskan saya untuk terus bekerja dan mencari pekerjaan yang lebih layak. Sebab, saya adalah tulang punggung keluarga. Ayah saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak untuk keluarga.

Hidup sebagai pekerja dan mahasiswa sekaligus bukanlah hal yang mudah, karena saya harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan kuliah. Bahkan tidak jarang saya harus sakit dan sering izin dari kantor saat ujian di kampus berlangsung agar saya bisa menyelesaikan studi dengan baik. Meskipun kadang saya mendapat teguran dari atasan karena sering izin kerja dengan konsekuensi dipotong gaji dan honor.

Namun, saya selalu teringat pesan ayah bahwa senjata utama di dunia ini adalah ilmu bukan harta. Itu yang menguatkan saya untuk terus melanjutkan studi meskipun harus menjalani kuliah-kerja pulang pergi sejauh 60 kilometer dari Depok ke Pulo Gadung tiap hari selama 2 tahun.

Baca Juga :  Pemkab Pamekasan Enggan Membantu Pembangunan Fasilitas Puncak Ratu

Meskipun demikian, pada 2009 keberkahan datang saat saya diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu lembaga tinggi negara. Itulah yang membuka kembali mimpi saya untuk melanjutkan studi ke Eropa. Karena dengan menjadi PNS akan memudahkan jalan untuk mencari beasiswa ke luar negeri. Akan tetapi, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.

Hingga 2014 saya sering memperoleh tugas dari pimpinan yang menyulitkan untuk melanjutkan studi ke luar negeri, hingga saya sempat putus asa dan berpikir cukuplah kuliah di Indonesia saja. Akhirnya, tahun 2015 saya melanjutkan studi master di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) dan dapat menyelesaikan studi pada 2017. (*)

*)CHOIRUL ANAM, SE, ME Ak CA, lahir di Bangkalan, 24 Juli 1984. Putra pasangan H Moch. Sahlun (alm) dan Hj Siti Habibah itu mengenyam pendidikan Pondok Pesantren As-Shomadiyah Burneh, SMPN 4 Bangkalan, dan SMAN 1 Bangkalan. Lalu melanjutkan ke Politeknik Universitas Indonesia/Poltek UI, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), dan Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) UI. Kini melanjutkan studi doktor of philosophy (Ph.D) di Charles University Republik Ceko. Sejak 2019 menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Ceko dan pada 2020 memenangkan Kongres Internasional online untuk kemudian menjabat sebagai koodinator PPI Dunia. Dari pernikahannya dengan Elok Faiqoh asal Indramayu dikaruniai dua anak. Masing-masing bernama Muhammad Al-Fatih Rahmatullah dan Solahuddin Al-Ayyubi.

Mimpi itu bernama Eropa. Sebagai anak desa terpencil di Desa Dlambah Dajah, Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan, kata ”Eropa” tentu menjadi suatu kosakata asing yang hanya sebuah mimpi di siang bolong. Akan tetapi, saya percaya bahwa semua itu bermula dari mimpi. 

CERITA mimpi itu dimulai ketika saya menjalankan studi di Pondok Pesantren As-Shomadiyah Burneh selama enam tahun pada 1996 hingga 2002. Rekan-rekan seusia saya pada saat itu sangat gemar menonton tayangan sepak bola Seri-A Italia yang pada era 1996–2000 menjadi liga terbaik di dunia. Kecintaan yang besar terhadap tayangan Seri-A dan Tim Inter Milan, membuat saya saat itu harus rela melanggar aturan pondok yang melarang menonton televisi.

Pada September 1996, di tengah keseruan saya menonton pertandingan Seri-A Italia, saya berucap bahwa suatu saat nanti saya akan ke Eropa dan menonton langsung pertandingan Inter Milan. Ungkapan ini sontak menjadi cibiran, karena bagaimana mungkin itu terjadi kepada saya yang hanya orang kampung, bahkan listrik saja pada saat itu belum ada karena baru masuk listrik tahun 2016. Di samping itu, kekuatan ekonomi keluarga yang lemah menjadi ganjalan besar untuk mewujudkan mimpi itu. Meskipun saya tidak pernah berhenti bermimpi sejak itu.


Gantungkan cita-citamu setinggi langit dan bermimpilah setinggi langit, ungkapan yang disampaikan Bapak Proklamator RI Ir Soekarno, menjadi kekuatan dalam hidup saya. Bagaimana tidak, meskipun keluarga memiliki keterbatasan ekononi, saya yang hanya menyelesaikan pendidikan di SMPN 4 Bangkalan dan SMAN 1 Bangkalan kemudian bertekad untuk melanjutkan studi lanjutan ke perguruan tinggi meskipun ayah saya saat itu tidak memiliki uang untuk melakukan pendaftaran.

Baca Juga :  Dukung Transisi Energi melalui Penggunaan Teknologi Ramah Lingkungan

Dengan bermodalkan berutang dari sanak saudara di Jakarta, alhamdulillah saya diterima dalam tes masuk sebagai mahasiswa jurusan Akuntansi di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) atau terkenal dengan  sebutan Politeknik Universitas Indonesia/Poltek UI pada 2002. Kesulitan ekonomi keluarga memaksa saya untuk belajar dengan giat dan menggantungkan diri pada beasiswa dari kampus untuk dapat menyelesaikan studi hingga 2005.

Berbekal ijazah diploma III ini, saya mendapatkan pekerjaan sebagai accounting officer di salah satu perusahaan tambang batu bara nasional. Bermodal gaji yang pas-pasan untuk hidup dan kos-kosan, pada tahun 2006 saya nekat melajutkan studi di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) dan dapat menyelesaikan studi tepat waktu sebagai Sarjana Ekonomi pada 2008 dari Universitas Indonesia. Saat itu, bahkan saya tinggal di kos-kosang yang berukuran 3×2,5meter di daerah Depok dan Pasar Minggu untuk bisa bertahan hidup.

Lulus dari UI, saya berencana melanjutkan studi ke Eropa seperti mimpi yang saya miliki. Namun keterbatasan ekonomi keluarga mengharuskan saya untuk terus bekerja dan mencari pekerjaan yang lebih layak. Sebab, saya adalah tulang punggung keluarga. Ayah saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak untuk keluarga.

- Advertisement -

Hidup sebagai pekerja dan mahasiswa sekaligus bukanlah hal yang mudah, karena saya harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan kuliah. Bahkan tidak jarang saya harus sakit dan sering izin dari kantor saat ujian di kampus berlangsung agar saya bisa menyelesaikan studi dengan baik. Meskipun kadang saya mendapat teguran dari atasan karena sering izin kerja dengan konsekuensi dipotong gaji dan honor.

Namun, saya selalu teringat pesan ayah bahwa senjata utama di dunia ini adalah ilmu bukan harta. Itu yang menguatkan saya untuk terus melanjutkan studi meskipun harus menjalani kuliah-kerja pulang pergi sejauh 60 kilometer dari Depok ke Pulo Gadung tiap hari selama 2 tahun.

Baca Juga :  Jatim Ekspor 2.650 Domba ke Brunei Darussalam

Meskipun demikian, pada 2009 keberkahan datang saat saya diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di salah satu lembaga tinggi negara. Itulah yang membuka kembali mimpi saya untuk melanjutkan studi ke Eropa. Karena dengan menjadi PNS akan memudahkan jalan untuk mencari beasiswa ke luar negeri. Akan tetapi, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.

Hingga 2014 saya sering memperoleh tugas dari pimpinan yang menyulitkan untuk melanjutkan studi ke luar negeri, hingga saya sempat putus asa dan berpikir cukuplah kuliah di Indonesia saja. Akhirnya, tahun 2015 saya melanjutkan studi master di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) dan dapat menyelesaikan studi pada 2017. (*)

*)CHOIRUL ANAM, SE, ME Ak CA, lahir di Bangkalan, 24 Juli 1984. Putra pasangan H Moch. Sahlun (alm) dan Hj Siti Habibah itu mengenyam pendidikan Pondok Pesantren As-Shomadiyah Burneh, SMPN 4 Bangkalan, dan SMAN 1 Bangkalan. Lalu melanjutkan ke Politeknik Universitas Indonesia/Poltek UI, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), dan Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) UI. Kini melanjutkan studi doktor of philosophy (Ph.D) di Charles University Republik Ceko. Sejak 2019 menjadi ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Ceko dan pada 2020 memenangkan Kongres Internasional online untuk kemudian menjabat sebagai koodinator PPI Dunia. Dari pernikahannya dengan Elok Faiqoh asal Indramayu dikaruniai dua anak. Masing-masing bernama Muhammad Al-Fatih Rahmatullah dan Solahuddin Al-Ayyubi.

Artikel Terkait

Most Read

JPRM GTS Bangun Spirit Menulis Siswa

Giliran Korcam PKH Galis Dibui

DBS II Jadi Barang Rongsokan

Polisi Tangkap Dua Budak Narkoba

Artikel Terbaru

/