SURABAYA – Wabah coronavirus disease 2019 (Covid-19) membuat sejumlah barang menjadi langka dan mahal. Seperti masker, cairan disinfektan, dan pembersih tangan (hand sanitizer). Masyarakat harus mewaspadai peredaran barang palsu di tengah permintaan yang semakin tinggi saat ini.
Saat ini banyak hand sanitizer dijual secara online. Kemasan mewah memikat calon pembeli. Namun, tidak ada keterangan izin dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Ahli Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Retno Sari menyayangkan peredaran hand sanitizer palsu dengan harga mahal. Produk ilegal tidak ada perlindungan kepada konsumen ketika membeli produk tidak mengantongi izin. Lalu, mereka tidak bisa menuntut.
Setiap produk harus memiliki izin edar. Hand sanitizer merupakan produk kelompok perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT). Izinnya berpedoman kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1190/Menkes/Per/VIII/2010 tentang izin Edar Alat Kesehatan dan PKRT.
”PKRT merupakan alat, bahan atau campuran untuk pemeliharaan dan perawatan kesehatan manusia yang ditujukan untuk penggunaan di rumah tangga atau fasilitas umum,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) Rabu (1/4).
Menurutnya, hand sanitizer merupakan antiseptik kategori kelas 1 risiko rendah. Tidak memiliki risiko kesehatan individu maupun masyarakat luas. Asalkan, jelas dia, digunakan sesuai ketentuan.
Hand sanitizer yang diproduksi oleh pabrik palsu tidak ada jaminan efektif membunuh mikroorganisme, seperti virus maupun jamur. ”Produk hand sanitizer yang dijual oleh pembuat yang tidak berkompeten tidak dapat dipertanggungjawabkan efektivitasnya,” ucapnya.
Retno menjelaskan, salah satu ciri produk mendapatkan izin edar memiliki nomor izin edar dari Kemenkes. Namun, ada beberapa oknum memalsukan atau meniru nomor izin edar pada kemasan. Karena itu, masyarakat harus berhati-hati dalam membeli produk. Salah satunya dengan membeli produk di toko resmi seperti apotek.
Jika terpaksa membeli secara online harus pandai melihat review produk. Tidak semua pedagang menjual produk baik. Ada juga pedagang menjual produk tidak berkualitas atau bahkan penipuan.
”Masyarakat diharapkan dapat berhati-hati memilih dan membeli produk. Cermati tulisan tentang komposisi dan izin edar yang tertera pada label,” terang Retno.
Sementara itu, pemerintah mengambil kebijakan jarak fisik (physical distancing) dan memilih obat Avigan dan Chloroquine untuk penanganan Covid-19. Dosen Departemen Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Unair Surabaya Mahardian Rahmadi mengatakan, Avigan merupakan nama dagang obat favipiravir dikembangkan Toyama Chemical, grup dari Fujifilm.
Favipiravir digunakan untuk menangani infeksi virus RNA. Juga telah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Jepang sejak 2014. Tujuannya, untuk mengobati berbagai virus tidak responsif pada antivirus. Lalu, disetujui Food and Drug Administration (FDA) atau BPOM Amerika Serikat untuk digunakan antivirus mengatasi influenza.
Sedangkan Chloroquine merupakan obat yang sudah lama digunakan untuk mengatasi infeksi parasit. Khususnya plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria. Pada berbagai penelitian in vitro (tidak pada makhluk hidup manusia atau hewan) sebelumnya, Chloroquine efektif sebagai antiviral melawan berbagai jenis virus RNA termasuk SARS-CoV1, virus hepatitis A, virus hepatitis C, virus influenza A dan B, virus flu burung (H5N1), virus dengue, virus zika dan lain-lain.
Favipiravir dan Chloroquine cukup efektif mengatasi infeksi virus SARS-CoV-2 (virus penyebab Covid-19). Kendati untuk memastikan, masih perlu pengujian dengan jumlah pasien lebih banyak. Chloroquine ditengarai memiliki aktivitas antiradang dan imunomodulator dapat membantu proses pemulihan pasien korona.
Sebagai akademisi dan apoteker, dia setuju dengan pilihan pemerintah. Sebab, data uji praklinis yang menjanjikan dan berbagai negara telah menggunakan. ”Keamanannya juga relatif terjamin karena kedua obat tersebut sudah menjalani berbagai tahapan uji klinis dan sudah lama digunakan untuk penyakit lain,” ucapnya.
Setelah Avigan dan Chloroquine diumumkan sebagai obat penanganan Covid-19 menjadi fenomena baru masyarakat. Mereka berbondong-bondong membeli untuk persediaan di rumah.
”Sebaiknya, kedua obat tersebut hanya digunakan di rumah sakit, di bawah pengawasan dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Terlalu berisiko bagi masyarakat untuk menggunakan obat tersebut tanpa resep dokter,” paparnya.
Mahardian menambahkan, alangkah lebih baik apabila Avigan dan Chloroquine diberikan kepada pasien positif Covid-19 dan dengan pengawasan ketat tenaga medis. Sebab, kedua obat ini juga memiliki efek samping. Masyarakat jangan sampai sembarangan mengonsumsinya. Harus lebih berhati-hati.