BANGKALAN – Rencana penghapusan nilai ujian nasional (unas) sebagai syarat penerimaan peserta didik baru (PPDB) disambut baik. PPDB rencananya akan lebih fokus pada penerapan sistem zonasi. Dengan demikian, tidak terjadi istilah sekolah favorit dan terbelakang.
Kepala Cabang Disdik Jawa Timur Wilayah Bangkalan Mariyono menyampaikan, pihaknya mengaku belum mendapat informasi dari disdik provinsi. Jika rencana iitu benar, dia sangat mendukung langkah Mendikbud.
Menurut dia, sistem yang diterapkan pada PPDB dan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) sudah bagus. Tidak ada permainan atau kecurangan karena pakai sistem online. Hanya, dia menyayangkan jika masyarakat tidak tahu sistem online lantas tidak mau sekolah. Maka, pada saat PPDB 2017 banyak sekolah kekurangan siswa.
”Memang banyak sekolah yang tidak memenuhi pagu. Ini kami sudah ajukan ke provinsi. Apakah memang banyak beralih ke pondok pesantren atau malah ada yang tidak sekolah,” paparnya.
Dia mengaku sudah meminta Disdik Jatim meneliti dan menganalisis. Sebab permasalahan kekurangan siswa terjadi di seluruh wilayah Jatim. Dia juga heran karena sekolah negeri banyak kosong. ”Ini kesalahan pengajuan pagu atau minat sekolah yang berkurang. Memang kalau menyesuaikan dengan nilai unas, terlalu memaksakan,” terangnya.
Dia sangat setuju jika sistem penilaian tidak dipakai dalam PPDB. Dengan begitu, siswa baru bisa sekolah negeri tanpa beban nilai. Pemerataan cukup memakai sistem zonasi. ”Sangat setuju kalau dihapus. Tapi, tetap menunggu informasi dari provinsi,” ucapnya.
Pengamat Pendidikan Bangkalan Fathurrahman Said menyampaikan, sistem ranking pada PPDB sangat tidak mencerminkan toleransi. Siswa dituntut untuk berkompetisi dengan teman sekelasnya melalui perbedaan nilai. Padahal seluruh warga Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
”Kalau sekolah negeri membatasi diri, orang akan lebih memilih sekolah yang biasa-biasa saja yang bisa menerima siswa tanpa berdasar kasta,” ucap pria yang akrab disapa Jimhur Saros itu.
Penggunaan nilai unas dalam PPDB menyurutkan semangat siswa untuk sekolah. Siswa malu jika memiliki nilai rendah dan masuk sekolah negeri. ”Harusnya sekolah siap membentuk siswa bagaimanapun kondisinya. Apalagi sekolah negeri,” kata mantan pengurus dewan pendidikan itu.
”Seharusnya siswa diajarkan untuk bisa saling berprestasi. Bukan saling menjatuhkan. Dari SD, SMP hingga kuliah, pintar tidak menjamin masa depannya cerah. Juga, belum bisa menjamin dia bisa hidup mapan,” ungkapnya.
Karena itu, kejadian pada PPDB 2017 menjadi sebuah potret buruknya sistem ranking untuk menentukan siswa diterima atau tidak. Dia pun tak heran setelah mengetahui banyak sekolah negeri kekurangan siswa. Sebab pagu yang diajukan tidak sesuai dengan minat siswa.
”Bayangkan, dari sekitar 15 ribu lebih lulusan SMP/MTs, hanya ada sekitar 5 ribu siswa yang mendaftar ke SMA/SMK. Kemana larinya?” tanya Jimhur.
Dia berharap pemerintah tidak membuat kebijakan asal-asalan agar masyarakat tidak menjadi korban. ”Pemerintah harus bisa mengkaji lebih jauh dan menampung berbagai pendapat dari berbagai daerah untuk membuat sebuah kebijakan,” pungkasnya.
Pada PPDB 2017 lalu total pagu SMAN/SMKN online dan offline 6.222 kursi. Perinciannya, 5.688 kursi untuk online dan 534 offline. Hingga PPDB online ditutup, pendaftar hanya 4.453 orang.
Pemerintah kemudian membuat kebijakan mengadakan PPDB online gelombang kedua dengan pagu 1.320 kursi. Sayang, hanya diminati 86 orang. Padahal, lulusan SMP/MTs di Bangkalan tahun ini mencapai 15.495 siswa. Sekitar 10.000 lulusan tidak masuk ke sekolah negeri di Kota Salak.