BANGKALAN – Setiap bangunan harus memiliki sertifikat layak fungsi (SLF). Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) 27/2018 dan Peraturan Pemerintah (PP) 16/2021.
Meski begitu, faktanya di Bangkalan banyak bangunan belum mengindahkan amanat Permen PUPR 27/2018 dan PP 16/2021 tersebut. Terutama, lembaga pelayanan publik seperti rumah sakit (RS) umum dan khusus serta klinik utama dan pratama.
Kabid Tata Bangunan dan Gedung Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Bangkalan Nur Taufiq mengatakan, untuk bidang pelayanan publik, baru dua gedung yang memiliki SLF. Dua gedung itu meliputi RSUD Syamrabu dan kantor DPRD Bangkalan.
Sementara, lanjut dia, ada juga pengurusan SLF oleh badan usaha non pelayanan. Misalnya, pertashop dan gudang-gudang liquefied petroleum gas (LPG). ”Karena itu dipersyaratkan oleh pihak Pertamina. Pengurusannya ada yang berproses dan ada yang keluar,” katanya kemarin (16/2).
Menurut Taufiq, SLF sangat penting sebagai jaminan keandalan dan keamanan bangunan gedung. Selain itu, dapat memberikan keamanan dan keselamatan bagi orang di dalamnya. ”Sebetulnya semua gedung harus punya (SLF),” ujarnya.
Taufiq menyampaikan, minimnya pengurusan SLF terjadi karena belum ada regulasi yang mengatur di tingkat daerah. Itu sebabnya, saat ini rancangan peraturan daerah (raperda) tentang gedung dan bangunan sedang digodok di DPRD Bangkalan.
Ditambah, kata dia, kurangnya kesadaran dan pemahaman dari pengelola pelayanan publik tentang pentingnya SLF. Dengan begitu, langkah yang bisa dilakukan yakni memberikan pemahaman secara personal kepada pengelola dari setiap pelayanan publik.
”Kami juga pernah menyampaikan di tingkat kecamatan, tetapi lebih ke arah tentang persetujuan bangunan gedung (PBG) dulu. Meskipun secara regulasi kalau bangunan sudah berdiri yang diurus pertama bukan PBG, melainkan SLF. Karena ketika sudah lolos SLF, PGB-nya akan ikut,” terangnya.
Dia menyebutkan, ada banyak komponen yang dinilai mendapat SLF. Yakni, terdiri atas aspek elektrikal, struktur, dan arsiteknya. Agar bisa mendapat SLF, harus menggunakan jasa konsultan yang kompeten. ”Kalau kita bicara tentang struktur, gedung harus memiliki standar keandalan bangunan,” terangnya.
Taufik menyatakan, selain RSUD Syamrabu, di Bangkalan terdapat satu fasilitas kesehatan (faskes) swasta yang saat ini mengajukan pengurusan SLF. Yakni, Klinik Utama Heart and Surgery. Untuk itu, pihaknya berharap semakin banyak faskes yang mengikuti jejak RSUD Syamrabu dan Klinik Utama Heart and Surgery. ”Setiap pengajuan pasti kami prorses,” katanya.
Wakil Direktur Pelayanan Klinik Utama Heart and Surgery Prima Nugroho mengakui bahwa faskesnya mengajukan pengurusan SLF. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan atas faskes yang dikelola. Selain itu, SLF menjadi salah satu prasyarat dalam perpanjangan izin operasional. ”Itu diatur dalam Permenkes yang baru,” ujarnya.
Dia menyatakan, pihaknya tidak memungkiri kesadaran para pengelola faskes akan pentingnya SLF di Bangkalan masih minim. Dengan demikian, banyak yang belum mengurus. Untuk mengurus itu, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memabayar jasa konsultan.
”Betonnya diukur sesuai prosedur. Proses itu tidak main-main dan tidak hanya beli sertifikat (SLF),” katanya.
Penanggung Jawab Klinik Wardah Nuril Sugiatma mengaku bahwa lembaganya belum mengantongi SLF. Namun, pihaknya berjanji segera mengurus. Sebab, saat ini masih proses pengurusan izin operasional. ”Tentunya nanti kami proses juga dengan SLF-nya,” janjinya.
Nuril beralasan lembaganya tidak mengurus SLF karena sebelumnya tidak menjadi persayaratan dalam proses izin operasional. Kecuali, upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) serta beberapa persyaratan lain di online single submission (OSS). ”Kalau dari OSS-nya aman, kita mendapat NIB ya kita ajukan,” tandasnya. (jup/daf)