BANGKALAN, Jawa Pos Radar Madura – Upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi pekerjaan rumah. Sebab, sampai saat ini KDRT tergolong tinggi. Buktinya, masih ada saja korban KDRT yang datang ke instalasi rawat darurat (IRD) RSUD Syamrabu.
Dokter spesialis forensik RSUD Syamrabu dr. Edy Suharto, Sp.F menyampaikan, KDRT dapat dikaji dari perspektif medikolegal. Yakni, melalui pendekatan ilmu kedokteran dan hukum.
Pihaknya menilai, KDRT layaknya fenomena gunung es. Banyak terjadi, tetapi tidak semua muncul ke permukaan. Penyebabnya, minimnya pengetahuan dan kesadaran tentang hukum. Dengan demikian, banyak korban yang tidak melaporkan kejadian KDRT ke aparat penegak hukum (APH).
”Usaha penghapusan KDRT cukup sulit karena merupakan urusan intern rumah tangga dan dianggap memalukan jika diketahui banyak orang,” ujarnya.
Menurut pria berkacamata itu, pemerintah sudah melakukan upaya penghapusan KDRT. Yakni, dengan dibuatnya Undang-Undang 23/2004 tentang Penghapusan KDRT. Namun, masalah KDRT belum sepenuhnya hilang.
KDRT banyak terjadi karena faktor ekonomi. Juga bisa disebabkan adanya kekuasaan yang tidak seimbang antara istri dan suami dalam rumah tangga. Selain itu, dapat dipicu masalah persaingan dan masih adanya pola kekerasan sebanyak penyelesaian konflik.
”Maka, diperlukan kematangan pendidikan, pergaulan, pekerjaan, dan penghasilan dalam suatu rumah tangga. Karena jika suami merasa kalah dalam pendapatan, akan memicu konflik dalam rumah tangga. Sementaran istri tidak mau terbelakang dan dikekang,” sambungnya.
Dalam kasus KDRT, ada beberapa tugas dan kewenangan dokter. Di antaranya, wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya. ”Jika memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban,” terangnya.
Dokter harus memberikan pelayanan kesehatan terhadap korban. Termasuk membuat visum et repertum atas dasar permohonan dari pihak kepolisian. ”Sehingga diharapkan penyelesaian masalah KDRT menjadi lebih efektif dan efisien,” tandasnya. (jup)